Saturday, June 22, 2013

Gerimis Pagi

Aroma tanah basah mendera..
menyusup paksa ke dalam otak..
meracuni tiap rongga kepala dengan kenangan yang terasa pahit dan manis pada detik yang bersamaan..

akan kau pahami jika kau pernah merasai situasi ini..
situasi saat asamu hampir habis..
saat napas tercekat tepat di tenggorokkan..
situasi ketika setiap jalan yang ada, seluruhnya menjadi tampak tidak realistis untuk ditempuh..
sementara pada waktu yang lain, kadang yang terjadi adalah separuh dari jiwamu bersikeras untuk tetap bertahan, untuk tetap menunggu, namun separuhnya lagi nyata-nyata sudah terlanjur menyerah..

lalu, ke arah mana kau akan berlari?



*Jakarta, 17 Juni 2013, 11:02am

Saturday, May 4, 2013

Forgive..


Jika ada yang menyakitimu, mungkin Allah hendak membalas perbuatanmu terdahulu, atau bisa jadi Allah hendak memahamkanmu terhadap sesuatu. Setiap episode dalam hidup, ngga pernah ada yang sia – sia. ngga akan ada ceritanya tuh Allah sekedar iseng ngasih kita ujian ini dan itu. Pasti ada maksudnya. Ya kan?
Atas kemungkinan yang pertama, maka bersyukurlah. Kenapa? Karena Allah membalas dosa kita di dunia. Dengannya kita masih sempat untuk bertaubat, minta ampun dan masih punya kesempatan untuk memperbaiki diri. Lah kalau di balasnya nanti di akhirat? Apa mungkin minta kembali lagi ke dunia untuk memperbaiki diri? Ga kan? So, just give thanks for that.
Untuk kemungkinan kedua. Ini tergantung pada kepekaan hati masing – masing. Tergantung seberapa tajam hati kita “membaca” maksudNya Allah.
***


Atas apa yang terjadi dalam hidup saya belakangan ini, maka saya dengan kesoktahuan saya menganggap Allah hendak memahamkan saya tentang “how to forgive”. Beberapa hadist dan penggalan kalimat yang saya tulis sebenarnya untuk diri saya sendiri. Tapi semoga juga bisa memberi inspirasi dan manfaat bagi orang lain.


Forgive..

Allah akan mengangkat derajat orang yang memberi maaf kepada orang lain” 
(HR. Muslim)

“akhlak yang paling mulia adalah menyapa mereka yang memutus silaturahim, memberi kepada yang kikir terhadapmu, dan memaafkan mereka yang menyalahimu.” 
(HR. Ibnu Majah)

“tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan (pada hari kiamat) dari akhlak yang baik.” 
(HR. Abu Dawud)

“Tidak ada orang yang memberi maaf kepada orang lain melainkan Allah akan menambah kemuliaannya” 
(HR. Muslim no.4689)


See? Jelas yah? Betapa memaafkan itu amat mulia. Dua kalimat lagi yang jadi penguat bagi saya untuk meyakini ini..

Jika memaafkan tak mengubah orang tersebut, maka itu pasti mengubahmu menjadi seseorang yang lebih pengertian dan mulia hatinya.
(di ambil dari akun twitter @kutipan)

Memberi maaf berarti memilih kemuliaan disisi Allah
(twit uje yg di repost oleh @fahiraidris untuk mengenang kepergian beliau)

Ah.. indah ya? Saya berpikir, kenapa ya memaafkan itu berganjar balasan yang sebegitu besar.. ternyata ya memang karena melakukannya ga mudah.. sungguh, memaafkan itu ngga mudah.. apalagi klo yang punya salah itu ga minta maaf. Tapi hal yang sulit dilakukan bukan berarti ga bisa dilakukan kan? Mari kita berjuang untuk memaafkan mereka yang telah menyakiti kita, seperti mereka (yang lain) yang juga telah berjuang untuk memaafkan kita saat dulu kita menyakiti mereka. Mereka memaafkan kita meski kita ga minta maaf. Dan saat ini tiba waktunya kita untuk melakukannya, supaya kita juga mendapat kemuliaan yang sama seperti mereka :)



*Jakarta, 4 mei 2013, 17.07WIB


Friday, May 3, 2013

Relationship


Relationship, sebuah jaring penghubung antara individu atau kelompok yang satu dengan yang lain dalam berinteraksi. Ya, begitulah definisinya menurut (kesoktahuan) saya. :D
Saya mengalami beberapa kejadian belakangan ini yang membuat saya berpikir lebih dalam tentang kata yang satu itu. Hmm, ya. Relationship. Dalam hal ini bentuknya bisa apapun. Pertemanan, persahabatan, pernikahan, rekan kerja, dsb. Pokoknya segala hubungan yang tidak didasarkan pada ikatan darah atau garis keturunan.
Saya bertanya dalam hati, sebenarnya apa yang menjadi hal pokok yang mampu menguatkan sebuah relationship (apapun bentuknya) hingga menjadi sebuah hubungan yang sehat. Lama saya mengamati, merasai dan memikirkan tentang jawaban dari pertanyaan saya tersebut, dan apa yang akan saya tuangkan disini adalah jawaban dari rangkaian proses mengamati, merasai, dan berpikir tersebut. Lets check this out.. :)
Yang pertama dan yang utama yang harus ada dalam sebuah relationship (apapun bentuknya) adalah penerimaan. Kedua belah pihak yang mengadakan relationship harus saling menerima satu sama lain. Relationship tidak akan pernah menjadi suatu hal yang baik jika penerimaan yang dilakukan hanya pada sisi baiknya saja.
Kadang kita lupa bahwa kita adalah manusia, yang juga berinteraksi dengan manusia, dan manusia pasti punya dua sisi dalam dirinya. Yang baik, dan yang buruk. Bagi mereka yang tak yakin bisa saling menerima kedua sisi tersebut seutuhnya, maka relationship yang sehat hanya akan jadi sebuah mimipi. 
Karena sungguh, mereka yang patut kau pertahankan adalah mereka yang berkenan untuk tetap setia duduk disampingmu, mendampingimu untuk bertumbuh menjadi lebih baik disetiap detikmu, meski mereka tau seberapa besar lubang cela yang ada pada dirimu.
 Sebenarnya ada satu orang dalam hidup kita yang secara naluriah akan melakukan hal tersebut. Do you know who? Yap.. she is your mom. Bagaimanapun kita, sebesar apapun kesalahan kita, ia akan selalu menyediakan tempat kembali bagi kita. Seperti kalimat yang pernah saya baca sebelum ini, “when you truly care for someone, their mistake never change you feelings because it’s the mind gets angry, but the heart still care.”
Hal kedua adalah Kepercayaan. Menurut saya ini hal krusial yang harus dimiliki dalam relationship (apapun bentuknya) jika ia ingin tumbuh menjadi hubungan yang sehat.  Saya juga sempat berpikir, sebenarnya, rasa percaya itu datang darimana, dan disebabkan oleh apa? Karena waktu lamanya saling mengenal? Atau dari kerapnya intensitas pertemuan? Saya meyakini bahwa lamanya durasi dan frekuensi kedua belah pihak dalam berinteraksi dapat menumbuhkan rasa saling percaya. Tapi saya rasa tidak semata – mata karena itu. Karena bukankah banyak dari kita yang bertemu dengan seseorang lalu tiba – tiba menjadi begitu percaya pada orang tersebut dan seketika mampu membangun sebuah hubungan (persahabatan, misalnya). Ya kan?
Jadi, bagaimana “rasa percaya yang tiba – tiba” itu bisa ada? darimana datangnya hingga sebegitu serta merta? Saya pikir, rasa percaya yang semacam itu adalah gift. Ia adalah sebuah intuisi. Yang namanya intuisi selalu tidak pernah bisa dijelaskan apa dan bagaimananya kan? Ya, begitulah. Ia akan hadir begitu saja. Entah karena apa.
Well.. tulisan ini mungkin sangat sederhana dan terlampau subjektif. Tapi semoga tulisan ini bisa memberi inspirasi dan manfaat, sekecil apapun itu. :)



Jakarta, 2 april 2013, 11.54am

Saturday, April 27, 2013

Sebuah Jawaban

Saat dalam kepalamu terlintas sebuah pertanyaan dan tak kunjung kau temukan jawabannya meski sudah sekuat tenaga mencari, maka tunggulah sejenak, dan jawaban itu akan segera dikirimkanNya entah dengan cara bagaimana.. percaya? saya sangat percaya..


Siang ini, Allah kirimkan jawaban untuk sebuah pertanyaan yang 2 pekan ini tertahan di kepala saya. Tanpa direkayasa, seorang shalihah membacakan kalimat ini tepat di sebelah telinga saya... 
Ujian paling berat bagi pecinta sejati adalah pada keyakinannya terhadap kesejatian cintanya sendiri, dan keyakinannya pada kekuatan cinta untuk terus menerus melahirkan kebajikan. (Anis Matta)

Dan saya rasa, kalimat itu adalah jawaban dariNya.

Ya. begitulah Dia. CaraNya "menjawab" seringkali tak terduga. Bisa melalui apapun. Dari yang sepele hingga yang luar biasa. :)

Sunday, April 21, 2013

kau..


Senja turun perlahan..
Di pelupuk mataku, masih jelas terkenang kepul asap dari cangkir kopimu..
Menari ia berpadu dengan jingga..
nyaring pula terdengar dendang lagu cinta..

Ah, sempurnanya mereka menyesakiku..


Kau..!!
Taukah kau aku rindu?





*jakarta, 31 Agustus 2012, 4.00am

Tentang keyakinan


‘keyakinan’ itu sebenarnya apa?
darimana ia datang?
Ah bukan.. aku tidak sedang bicara tentang Dia..
Ini tentang ‘keyakinan’ yang lain..

Ya.. Sebenarnya, ‘keyakinan’ itu apa?
Darimana ia muncul?
Apa iya bisa sebegitu serta merta?
Lantas, kapan waktunya aku bisa meyakini adanya ‘keyakinan’ itu, sementara ia seringkali ku temui berubah-ubah?
Atau memang begitu sifatnya?

Jadi, ‘keyakinan’ yang semacam apa yang bisa kita yakini?






*jakarta, 21 April 2013, 19.14WIB

My Favorite Part of "Sunset Bersama Rosie"


Sebenarnya, apakah itu perasaan? Keinginan? Rasa memiliki? Rasa sakit, gelisah, sesak tidak bisa tidur, kerinduan, kebencian?
Bukankah dengan berlalunya waktu semuanya seperti gelas kosong yang berdebu, begitu-begitu saja, tidak istimewa.
Malah lucu serta gemas saat dikenang.
Sebenarnya, apakah pengorbanan memiliki harga dan batasan?
Atau priceless, tidak terbeli dengan uang, karena kita lakukan hanya untuk sesuatu yang amat spesial di waktu yang juga spesial?
Atau boleh jadi gratis, karena kita lakukan saja, dan selalu menyenangkan untuk dilakukan berkali-kali.
Sebenarnya, apakah itu ‘kesempatan’?
apakah itu makna ‘keputusan’?
bagaimana mungkin kita terkadang menyesal karena sebuah ‘keputusan’ atas sepucuk ‘kesempatan’?
sebenarnya, siapakah yang selalu pantas kita sayangi?


*TereLiye

My Favorite Part of "Galaksi Kinanthi"


      Setiap petang di bulan juni, para penghuni galaksi itu berkumpul menikmati ekor cahaya matahari. Sejak ledakan besar dahulu, galaksi cinta ditaburi sejuta matahari yang terangnya seribu kali lipat lebih cemerlang dibanding matahari milik bimasakti.
      Bulan juni yang istimewa. Setahun penuh mereka takzim dalam rotasi planet-planet dan tawaf berjamaah yang diikuti seluruh penduduk angkasa. Tawaf raksasa yang menghabiskan waktu begitu lama. Kemudian, mereka beristirahat pada bulan juni.
      Juni yang ditunggu-tunggu. Saat itu, para penghuni galaksi cinta akan duduk bergerombol diatas bukit yang ditumbuhi ilalang berbulu lembut. Angin Memainkan musik yang menabuh sepi dan kerinduan yang kronis. Mereka lalu saling bercerita tentang kisah yang sama. Diulang-ulang tapi tak pernah mendatangkan rasa bosan.
      Ada yang tersenyum sambil membisikkan dendang langka. Lagu yang sudah tak dikenali generasi masa kini. Punah di kunyah masa. Bibirnya tersenyum, tetapi matanya melelehkan air mata. Ia teringat tatapan mata belahan hatinya. 
      Jika engkau cinta, tatapan seperti itu tidak mungkin dusta. Tatapan yang tidak mampu kau tukar dengan gunung emas. Tatapan kasih yang tak berbatas. Seolah tak cukup engkau serahkan seluruh hidup. Tatapan yang telah tertinggal oleh waktu, mustahil diulang. Sebab, belahan jiwanya telanjur mengangkasa. Meninggalkan dia di galaksi cinta. Membiarkannya menunggu tanpa tenggat waktu. Rasanya, melanjutkan hidup sekadar menghitung mundur menuju hari kematian. Namun, dia rela. Engkau mengatainya bodoh. Namun, dia rela. 
      Ada yang menyendiri sambil menatap langit. Baginya, menarik napas pun seolah membuat nyawanya terampas. Rindu yang menyesakkan. Pada titik tertentu seperti mengosongkan paru-paru. 
      Rasa yang sudah begitu renta, tapi tak pernah menjadi kata-kata. Dia kini terlalu tua untuk merangkai kalimat mesra. Bagimu tak ada terlambat untuk mencintai, baginya, tidak pernah ada waktu untuk mengatakan "setelah Tuhan, kaulah yang mampu mematikan matahari". 
      Dahulu, ketika jiwanya belum terbelah, ketika kebersamaan masih begitu mudah, dia menyemai bibit dalam hati. Begitu asyiknya hingga saat setengah jiwanya pergi, sudah terlambat untuk mematikan tanaman hati ini. 
      Hingga kini, menunggu baginya tak berarti harus bertemu. Ia melarikkan bait puisi tanpa berharap setengah jiwanya kembali. Kepada temaram petang, dia melengkungkan perasaannya yang berumur selamanya. Terkadang, hasratnya menggejolak, menghasutnya untuk melakukan perjalanan. Meniti jejak di permukaan pelangi. Barangkali, setengah jiwanya berada disana.
      Jika waktu adalah kupu-kupu, sudah lelah hatinya melanglang setiap sudut bumi. Samapai waktunya untuk berhenti. Tetap menunggu, namun tak berharap bertemu. Dia menyadari, tak semua cinta layak diperjuangkan. Maka, yang tertinggal adalah jejak kasih yang memburam. Ia bersihkan setiap debu yang membuat jejak itu tak gemintang. Mencoba bergembira dengan apa yang pernah terjadi. Menyimpannya bagai sekotak perhiasan. Engkau mengatainya sia-sia. Namun, dia tetap cinta



*TereLiye

Belajar Dari Peristiwa Ifki


Beberapa waktu belakangan ini saya dihadapkan pada sebuah keadaan yang membuat saya bingung bagaimana harus bersikap. Rasanya serba salah hingga pada akhirnya Allah menggerakkan hati saya untuk menelaah kembali detail peristiwa ifki yang terjadi ribuan tahun silam. I just want to share. Semoga teman – teman juga bisa mengambil pelajaran dari kisah ini lebih baik dari yang saya serap. Let’s check this out, guys :)
***

‘Aisyah menuturkan, “Jika Rasulullah hendak melakukan perjalanan, maka beliau akan mengundi siapa diantara istri – istri beliau yang akan mendampinginya. Waktu itu, ketika hendak melakukan serangan terhadap musuhnya dalam perang bani Musthaliq, Rasulullah mengundi, dan keluarlah namaku, sehingga aku menyertai perjalanan beliau dalam perang itu yang terjadi setelah turunnya ayat hijab, sehingga aku dibawa di dalam haudaj (tenda kecil untuk kaum wanita yang diletakkan di atas punngung unta) dan aku beristirahat di dalamnya.”
Dalam perjalanan pulang dari misi tersebut, ketika sudah dekat dengan Madinah, tiba – tiba Rasulullah memberi perintah untuk meneruskan perjalanan di malam hari. Sesaat sebelum perintah Rasulullah diumumkan, ‘Aisyah meninggalkan kemah tentara untuk suatu keperluan. Ketika itu, ‘Aisyah kehilangan kalungnya saat sedang tergesa berjalan kembali ke perkemahan. ‘Aisyah pun kembali lagi untuk mencari kalungnya, dan hal itu membuatnya terlambat kembali ke perkemahan.
Beberapa orang yang bertugas untuk mengangkat haudaj ‘Aisyah tidak menyadari bahwa ‘Aisyah tidak berada di dalamnya. Mereka kemudian menggiring unta yang mengangkut haudaj ‘Aisyah dan membawanya pergi. ‘Aisyah pun tertinggal oleh rombongan.
‘Aisyah menunggu di bekas perkemahan rombongan. Berharap para petugas menyadari bahwa ia tidak ada dan mereka kembali untuk mencarinya. Namun ternyata mereka tak kunjung datang, hingga ‘Aisyah tertidur kelelahan.
Pagi menjelang. Shafwan bin Mu’aththal As –Sullami, salah satu bagian dari pasukan Rasulullah yang berjalan di belakang rombongan induk mendapati ‘Aisyah tengah tertidur di bekas perkemahan pasukan Rasulullah. Shafwan mengucapkan istirja’ (Innaa Lillahi wa Innaa Ilaihi Raa’ji’uun) saat mengenali ‘Aisyah. Karena mendengar suara Shafwan, ‘Aisyah pun terbangun. ‘Aisyah berkata, “Demi Allah, dia sama sekali tidak mengajakku bicara dan aku tidak mendengarnya mengucap satu kalimat pun kecuali kalimat istirja’ tadi.”
Shafwan kemudian menundukkan untanya dan menekan dua kaki depannya agar ‘Aisyah dapat naik ke punggung unta tersebut dengan mudah. setelah siap, shafwan menuntun unta tersebut hingga dapat menyusul rombongan pada siang hari itu juga. Saat itulah tuduhan itu mulai disebarkan. Abdullah bin Ubay bin Salul adalah orang yang paling bertanggung jawab menyebarkan tuduhan bohong (ifki) tersebut.
***
Setibanya di Madinah, ‘Aisyah jatuh sakit. Desas desus terus berhembus, sementara ‘Aisyah tidak mengetahuinya. Hanya saja ‘Aisyah menyadari perubahan sikap Rasulullah terhadap dirinya. ‘Aisyah kehilangan kelembutan yang biasanya ditunjukkan oleh beliau kepada ‘Aisyah ketika ‘Aisyah sakit. Selama ‘Aisyah sakit kali ini, Rasulullah menjenguknya hanya untuk  bertanya “bagaimana keadaanmu?” , kemudian beliau pun berlalu pergi.
Setelah keadaan ‘Aisyah agak membaik, ia pergi keluar rumah untuk suatu keperluan bersama Ummu Misthah. Pada saat itulah ummu misthah memberi tahu ‘Aisyah akan pemberitaan yang tengah menggemparkan masyarakat Madinah beberapa waktu terakhir. Saking terkejutnya mendengar berita tersebut, ‘Aisyah pun kembali jatuh sakit. Bahkan jauh lebih parah dari sebelumnya.
Lihatlah, bahkan wanita semulia ‘Aisyah pun mengalaminya. Wanita kecintaan Rasulullah ini diragukan kata – katanya. Bahkan Rasulullah, lelaki terbaik sepanjang zaman pun terbawa hatinya dalam berita ini, Duhai Zat Penggenggam hati.
 Setelah ‘Aisyah sampai di rumah, Rasulullah menjenguknya. Beliau mengucap salam dan bertanya “Bagaimana keadaanmu?”, ‘Aisyah berkata, “Apakah engkau mengizinkan aku untuk menemui kedua orang tuaku?”. Saat itu ‘Aisyah bermaksud mencari kebenaran berita tersebut dari kedua orang tuanya. Ternyata, Rasulullah pun memberi izin.
***
‘Aisyah pun pergi menemui kedua orang tuanya. Kesedihannya tidak terperi saat mengetahui berita tersebut dengan lebih detail. ‘Aisyah adalah bunga mawar yang terjaga dan bersih, serta tumbuh di lingkungan yang dicucuri air wahyu. Jadi bagaimanalah ia tidak bersedih saat seluruh penduduk madinah meragukan kehormatannya. Wahai zat yang Maha Tahu, inikah caramu untuk menaikkan derajat sang wanita shiddiq.
 ‘Aisyah mengenang kejadian itu, “Sepanjang hari itu aku terus menangis dan tidak dapat tidur.” ‘Aisyah melanjutkan, “besoknya , kedua orang tuaku menjengukku. Sudah satu hari dua malam aku tidak berhenti menangis dan tidak bisa tidur, sehingga mereka mereka mengira hatiku betul – betul remuk redam karena menangisi persoalan ini. Ketika mereka berdua duduk dan menemaniku, tiba – tiba seorang wanita Anshar datang dan minta izin untuk masuk. Aku mengizinkannya, lalu ia pun ikut menangis bersamaku.”
‘Aisyah bercerita lagi, “Dalam keadaan seperti itu, tiba – tiba Rasulullah muncul. Beliau mengucap salam lalu duduk. Sejak isu tersebut tersebar, Rasulullah tidak pernah lagi duduk di sampingku. Sudah lebih sebulan beliau tidak menerima wahyu tentang persoalanku. Sebelum duduk, Rasulullah membaca syahadat dan mengucapkan salam lalu berkata, ‘Amma ba’du, wahai ‘Aisyah, sesungguhnya aku menerima berita yang mengatakan bahwa engkau melakukan begini dan begitu. Seandainya engkau benar – benar bersih dari tuduhan itu, maka Allah pasti akan membersihkanmu, tapi jika seandainya engkau telah melakukan perbuatan dosa, maka mohonlah ampun kepada Allah dan bertobatlah kepadaNya. Sesungguhnya jika seorang hamba mengakui dosa yang dilakukannya lalu bertobat kepada Allah, maka pasti Allah akan menerima tobatnya.”
Ya Rabbi.. bahkan Rasulullah pun tidak tahu harus mempercayai siapa. Mempercayai istrinya, ‘Aisyah atau  mempercayai perkataan para penduduk madinah. Entah bagaimana cara menggambarkan remuk redamnya hati sang ummul mukminin kala itu. Mustahil rasanya bila mengatakan Rasulullah tidak ‘mengenal’ siapa dan bagaimana ‘Aisyah.
Keadaan ini terus berlanjut hingga Allah memberi anugrah kepada ‘Aisyah dan segenap kaum muslimin dengan memupus penderitaan dan menghilangkan kesedihan, serta menurunkan wahyu Al Qur’an kepada Rasul-Nya yang mulia yang tidak pernah diduga sebelumnya oleh siapapun, karena tadinya hanya diperkirakan Rasulullah akan mendapatkan mimpi untuk menunjukkan kesucian umul mukminin ‘Aisyah ra. Akan tetapi, tampaknya Allah hendak memberi keistimewaan yang mengangkat derajat ‘Aisyah untuk menunjukkan kemuliaan pribadi dan status sosialnya.
***
Duhai Rabbi, Sang Kekasih jelas sudah tidak mempercayainya. Bagaimanalah dengan orang tuanya? Pun mereka. Ternyata mereka juga meragukan putrinya. Tapi bukankah orang tua seharusnya tahu persis siapa dan bagaimana anaknya? Ya. Begitulah kejamnya fitnah.
‘Aisyah berkata, “Setelah Rasulullah berkata demikian, airmataku benar – benar habis sehingga aku tidak merasakan ada setitik pun yang tersisa. Aku berkata kepada ayahku, ‘wahai ayah, jawablah perkataan Rasulullah’. Ayahku berkata, ‘Demi Allah aku tidak tahu apa yang harus aku katakan kepada Rasulullah.’ .” ‘Aisyah kemudian melirik ibunya, berharap sang ibu akan membelanya. Namun ternyata beliau pun tak sanggup membela putrinya. Duhai Rabbi, alangkah hebat Kau uji ketegaran wanita mulia ini.
Karena tak satu pun yang mampu membelanya, ‘Aisyah pun berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku telah mendengar isu tersebut, dan tampaknya kalian telah terpengaruh begitu jauh dengannya sehingga kalian mempercayainya. Seandainya aku katakan bahwa aku bersih dari tuduhan itu – dan Allah Mahatahu bahwa aku bersih darinya – maka kalian tidak akan percaya. Sebaliknya, seandainya aku mengaku telah melakukan sesuatu – dan Allah Mahatahu bahwa aku bersih darinya – maka kalian akan percaya. Demi Allah, aku hanya bisa meniru apa yang diucapkan ayah yusuf, yakni,

“Maka hanya kesabaran yang baik itulah (kesabaranku) dan Allah sajalah yang dimohon pertolonganNya terhadap apa yang kalian ceritakan.” 
(Yusuf: 18)


Saat seorang manusia tak lagi memiliki daya untuk menyelesaikan persoalannya, maka nantikanlah hasil kerja tangan Allah.

“... karena pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS. Al Baqarah: 214)


Saat itu ‘Aisyah meyakini betul bahwa ia bersih dari tuduhan tersebut dan meyakini pula bahwa Allah akan menunjukkannya. Namun, sungguh ia tidak mengira bahwa Allah akan menurunkan wahyu untuk menyelesaikan persoalannya ini.
‘Aisyah bercerita, “Demi Allah, saat itu Rasulullah belum bergeser dari tempat duduknya, dan tak ada seorang pun yang beranjak keluar rumah ketika tiba – tiba beliau menerima wahyu. Beliau tampak seperti sedang menerima beban yang sangat berat sehingga butir – butir keringatnya jatuh bercucuran, padahal saat itu cuaca sangat dingin.
Dalam wahyu itu Allah berfirman, “Sesungguhnya orang – orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu, bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap – tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya....” (An Nur: 11) hingga lengkap 10 ayat.

Setelah proses turunnya wahyu selesai, Rasulullah tenang kembali dan beliau tersenyum. Kata – kata yang pertama kali terlontar dari mulut beliau adalah “Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah menyatakan bahwa engkau bersih.” Mendengar hal tersebut, ibunda dari ‘Aisyah memintanya untuk mengucapkan terima kasih kepada Rasulullah. ‘Aisyah tidak melakukannya. ‘Aisyah hanya berkata, “Demi Allah aku tidak akan berterima kasih kepadanya. Aku hanya memuji kepada Allah ‘Azza wa Jalla.”
***

Well guys, bahkan wanita seunggul ‘Aisyah binti Abu Bakar pun bisa terdera fitnah keji yang semacam ini, apalagi kita (saya) yang imannya masih rombeng disana sini. Dan ternyata, Rasulullah, lelaki yang hatinya jernih pun bisa termakan isu.

Saat seorang manusia tak lagi memiliki daya untuk menyelesaikan persoalannya, maka nantikanlah hasil kerja tangan Allah.

“... karena pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS. Al Baqarah: 214)





*Bekasi, 15 April 2013, 14.00 WIB

Friday, April 12, 2013

Menyerahlah


Orang-orang terdekat saya mungkin tahu persis tentang bagaimana saya mencintai matematika. Sebuah subject yang dibenci orang kebanyakan, saya malah mencintainya mati-matian. Semasa menempuh pendidikan di jenjang sekolah atas, adalah mimpi yang indah bisa menjadi sarjana jurusan matematika. Saya melakukan hal terbaik yang bisa saya lakukan untuk mewujudkannya. Saya belajar giat untuk menjaga nilai-nilai harian saya agar tetap baik. Kenapa? Supaya nanti mudah ketika saya ikut seleksi masuk perguruan tinggi jalur penelusuran minat. Saya pun berjuang lebih dari sekedar keras untuk mendapatkan nilai maksimum pada ujian akhir saya. Ini jujur, ketika itu saya baru berhenti mengerjakan latihan soal saat kepala saya sudah terasa sakit. Jika belum, saya akan terus mengerjakan soal-soal yang ada. Agak berlebihan memang, tapi begitulah jika saya sudah punya mau. I’ll do my best. Really my best.
Seleksi pertama yang saya ikuti adalah seleksi penelusuran minat. Dengan optimis saya menyerahkan salinan rapot untuk diproses oleh guru BK. Menurut logika, mestinya saya lolos seleksi karena rata-rata nilai saya berada di atas rata-rata nilai yang dijadikan syarat oleh jurusan impian saya itu. Tapi kenyataannya? Saya tidak lolos seleksi. Kecewa? Iya. Tapi saya pikir, saya masih punya 2 kesempatan lagi.
Seleksi kedua, seleksi uji tulis yang serentak dilakukan di seluruh Indonesia. Saya berusaha keras belajar. Lebih dari 2 pekan saya sakit sehingga saya harus ‘berhenti’ belajar. Saya harus mengejar ketertinggalan. Entah apa usaha saya bisa disebut sia-sia. Saya terpaksa kembali menelan kekecewaan. Saya gagal. Saya tidak diterima dijurusan manapun. Pahit? iya. Tapi harus ditelan.
Kesempatan terakhir. Saya bangkit lagi dari keterpurukan. Berjuang lagi supaya kali ini berhasil. Kali ini saya berusaha belajar lebih keras. Untuk seleksi yang terakhir ini, saya dituntut untuk memilih 2 jurusan dalam satu fakultas. Pilihan pertama, jelas matematika. Yang kedua? Nah ini..!! bingung..!! >.<
Setelah sedikit mempertimbangkan, akhirnya saya menuliskan jurusan kimia di opsi kedua. Kenapa? Simple jawabannya; main di lab kayaknya seru. Hihihi ngga berbobot banget ya alasannya. Anyway, pilihan jurusan sudah ditentukan, tapi jujur, saya hampir tidak memikirkan opsi kedua saya itu. Pikiran dan usaha saya fokus pada pilihan pertama. Jurusan matematika. :D
Hari pengumuman tiba, dan jeng jeeeeeeeeng... nama saya justru muncul di daftar mahasiswa yang diterima di jurusan kimia, bukan matematika. Jungkir balik saya belajar matematika, tapi malah masuk jurusan kimia itu rasanya ngga masuk akal.
 Ternyata, begitulah takdir. Rupanya Allah hendak memahamkan saya akan perkataanNya di surat Al An’am ayat 134:
“Sesungguhnya apapun yang dijanjikan kepadamu pasti datang dan kamu tidak akan mampu menolaknya.”
Sekuat apapun kita berusaha mendekat pada sesuatu yang kita ingini, jika memang tidak dijanjikan untuk kita, maka tidak akan pernah sampai. Sebaliknya, jika ‘disana’ telah tertulis hal tersebut untuk kita, sejauh apapun kita berusaha menghindar maka kita akan tetap dikembalikan untuk mendekat pada hal tersebut. Kita akan terus menerus diberi jalan untuk kembali.
***

Bertanggungjawablah atas segala keputusan yang telah kau ambil..!!
Semester pertama kuliah, semua masih aman terkendali. Semester kedua, ketidaksesuaian hati dan pikiran mulai berefek buruk. Indeks Prestasi yang nyata-nyata mampu dijadikan indikatornya. Mulut bisa dengan mudah bilang “saya enjoy kok di kimia”, tapi hati ngga bisa bohong “saya maunya kuliah matematika”.

“... tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan oleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al Baqarah: 216)

Base on that words, akhirnya saya putuskan berdamai dengan kenyataan. Berdamai dengan takdir. Mudah? Tidak. Saya berusaha sekuat tenaga mencintai keduanya dengan baik. Sampai akhirnya di semester ke tujuh, saya paham maksudNya.
Dipertengahkan semester ke tujuh, Allah memberi saya hadiah sebuah kondisi dimana saya mau tidak mau, suka tidak suka, kuat tidak kuat, harus menambah jam mengajar saya. Permintaan yang banyak muncul adalah “butuh guru matematika dan IPA”. Selama 3 tahun penuh Allah ‘memaksa’ saya mencintai keduanya (matematika dan kimia), dan beginilah maksudNya. Dengan kondisi butuh pekerjaan, kecintaan saya akan dua bidang tersebut tentu mempermudah. Mungkin, jika dulu Allah mengizinkan saya untuk kuliah di jurusan matematika, tentu tidak semudah ini saya memenuhi tuntutan hidup saya.

“...Allah Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Sesederhana itu. Tapi di dalamnya terkandung kemenyerahan yang teramat sangat. Di dalamnya kita mengakui bahwa kita tidak tahu apa-apa akan hari esok.
Lantas, apa kita tidak boleh berjuang? Bukan. Bukan itu yang saya maksud. Menyerah itu letaknya di akhir. Di awal, Berjuanglah sekuat tenagamu. Jika tiba waktu tak ada lagi daya yang bisa kau kerahkan, maka menyerahlah. Menyerah itu tak selalu buruk. Menyerahlah akan ketentuanNya. karena bisa jadi saat itu Ia tengah mempersiapkanmu untuk sebuah keadaan di masa depan yang kau tak tau akan bagaimana.

“... Allah Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Ya sesederhana itu. Tak perlulah kita jadi sok tahu.. karena Allah yang lebih tahu.. :)



*Timur Jakarta, 31.03.13, 19.00WIB

Sunday, March 31, 2013

Apatism Syndrome


Langit sudah berganti layar. Saat itu gelap. Dan pada detik itu saya masih terduduk di halte depan kampus. Sedang apa? Sedang menunggu sahabat baik untuk pulang bersama. Yaaa barangkali ada cerita bermakna yang bisa kami bagi nanti.
Tak lama setelah ia tiba, minibus yang akan membawa kami pulang pun tiba. Sebenarnya kami enggan ikut. Terlalu sesak untuk tubuh kami yang sudah terlalu penat. Tapi apa daya. Akhirnya kami ikut juga. ya sudahlah. Dari pada lebih lama jadi santapan para nyamuk di halte tadi. Berdoa saja semoga di perempatan depan sana akan banyak penumpang yang turun, jadi kami bisa duduk.
Ah, ternyata salah keputusan kami untuk naik dari pintu belakang. Kenapa? Karena semua penumpang di jajaran kursi belakang adalah kaum lelaki. Huhuhu..  #syerem >.<  Tapi positif thinking saja lah. Siapa tau ada dari mas-mas atau bapak-bapak itu yang mau merelakan tempat duduknya untuk kami (perempuan, Red.). Kayak yang di novel ayat-ayat cinta gitu. Mengalah untuk perempuan.. #tsaaah :D

Dan selanjutnya, fakta yang terjadi adalaaaaah...
Perempatan pertama: macet, Kami berdiri.
Perempatan kedua: macet juga, Kami masih berdiri.
(Menjelang) perempatan ketiga: macet sudah berlalu, minibus kami ngebut banget, Kami juga masih berdiri. Bedanya kali ini kami berdiri sambil terpelanting  kesana kemari.
Menuju perempatan ke empat, kami sudah putus harapan. Kami putus harapan akan ada 2 dari kelima lelaki itu yang mau merelakan tempat duduknya untuk kami. #nasip -____-‘

*Rawamangun-pondok kopi, 21 sept 2011.

***
Dari pengalaman itu saya jadi bertanya dalam hati “peduli itu sekarang sedang pergi kemana ya?” “kenapa sekarang ini lebih banyak orang yang apatis daripada orang yang sensitif terhadap derita orang lain?”
Bukan. Bukan saya menganggap bahwa berdiri di dalam minibus di sepanjang perjalanan pulang itu adalah sebuah derita. Cuma satu jam kok. Yaa, mungkin akan jadi sebuah derita kalau saya berdirinya di atap minibusnya. #eh *horor :D
Pada dasarnya pengalaman sore tadi hanya menjadi pemicu bagi saya untuk menuliskan hal ini. Sekarang okelah kalau saya tidak mendapat perlakuan istimewa sebagai perempuan dari para lelaki itu (eits, dikasih kesempatan untuk duduk maksudnya). Saya masih sehat, cuma lelah aja, dan saya yakin kok kalau nyaris semua penumpang yang ada dalam minibus itu juga lelah. Tapi kalau ini terjadi sama ibu hamil? Saya pernah lho, pas pulang kuliah (abis maghrib juga), naik minibus dengan nomor trayek yang sama, dengan kuantitas penumpang yang juga nyaris sama (sampe miring deh itu minibusnya), dan di dalamnyaada ibu yang hamil yang tidak mendapat tempat duduk. Beliau berdiri, sodara – sodara. *hadooooh.. Eh, ibu itu hamilnya udah besar. Sekitar 7 atau 8 bulan mungkin. Dan lucunya (lebih tepat disebut miris sebenarnya), tidak ada satu orang pun yang mau merelakan tempat duduknya untuk si ibu itu. Padahal ibu yang hamil itu berdirinya di dekat jajaran kursi belakang, dan 3 dari 5 kursi yang ada di jajaran itu diduduki oleh laki-laki (yang menurut subjektifitas saya masih lebih kuat dibanding ibu hamil itu untuk berdiri sampai tujuan akhir). Aaarrrgghhhh....!!!! rasanya pengen banget jitak para lelaki yang duduk di jajaran belakang itu. Bikin emosi jiwa. >:(
Nah, mungkin dari sekian banyak orang yang baca tulisan ini ada yang bertanya dalam hati “kenapa nggak lo aja yang ngasih tempat duduk, ka?” oke saya jawab, “saya juga berdiri, saudaraku”.
***
Kemana perginya nurani? Apa sudah habis tergilas rutinitas jakarta yang beringas? Lalu, kemana perginya peduli? Ah, kalau nurani saja sudah tergilas habis, pasti peduli tak kan bisa lagi eksis. Bukan begitu?
Lantas, apa yang salah? Siapa yang salah? Ya, Saya yang salah. Saya salah karena ketika itu saya tak punya cukup nyali untuk sekedar bilang “maaf mas, mas kan masih muda, masih kuat, boleh ibu hamil ini aja yang duduk?”
Ya, saya yang salah. Karena saya ketika itu membiarkan nurani saya digempur rasa takut. Lucu. Saya merasa takut untuk berbuat baik. Menggelikan. Hah..!! Saya jadi berpikir, “apa hal itu kini sudah membudaya?” fakta yang tampak sih memang demikian. Kita terlalu takut untuk berbuat baik. Kita terlalu takut untuk berkata jujur. Kenapa? Karena saat ini berbuat baik dan jujur seringkali berhadiah sanksi.
Tak bisa di pungkiri apatisme kinimendera-dera. Semakin menjadi-jadi. Mereka menjadi kaum dominan. Apatisme seperti virus yang mengendap-endap menginfeksi seluruh penduduk jakarta. Tanpa sadar? Apa iya tidak ada gejalanya? Sebenarnya ada, tapi tidak terlihat. Kita menjadi tidak peka untuk melihat gejala- gejalanya karena pada faktanya lingkungan kita juga telah menjadi apatis. Semua hanya sibuk ‘berlarian’ dijalan raya, tergesa, melesat, mengejar matahari setiap hari.
Kini, kita tak lagi peka melihat sekitar. Kini, kita tak lagi peduli akan kesulitan orang lain. Yang penting saya ga susah. Yang penting saya bahagia. Mengenai orang lain? Yaa, urus diri masing-masing aja. Bukan begitu?
Kini, sepertinya “peka” itu kini tinggal cerita, dan peduli kini tak eksis lagi.

*pinggir timur jakarta, 11-10-11*

Saturday, March 30, 2013

Berdakwah, buat apa?


Senin, 4 juli 2011 08:25:23 pm, ponsel saya bergetar. Dilayar tertera tulisan

1 new message
44.yulia
08:25 pm

Saya pun kemudian menekan tombol view, dan beginilah isi pesan yang saya terima

“kak, kenapa ya kita harus berada dijalan dakwah? Kenapa gak kayak temen-temen yg lain? Belajar serius, main, pacaran, jalan-jalan..”

Yulia adalah adik kelas saya (pengurus rohis di SMA almamater saya).  Ia hanya seorang muda, muda sekali, usianya pun belum genap 17 tahun, tapi kalian pasti gak tau, ia punya semangat luar biasa dalam memajukan ekskul rohis di sekolahnya (sekolah kami). Semangatnya yang seringkali mampu menyemngati saya saat sedang lemah.
Senyum. Itu respon pertama saya setelah membaca isi pesan tersebut. Maha Suci Allah yang telah menggerakan hati adik saya ini untuk bertanya kepada kakaknya tentang kenapa ia harus berdakwah, tentang kenapa ia harus berbeda dari yang lain. Sungguh saya bersyukur, karena ia masih mau bertanya atas keraguan hatinya, bukan mengambil kesimpulan sendiri atas pemikirannya. Yaa walaupun yang ditanya juga ga tau2 amat.. hehehe ;p

***

Kenapa sih kita harus berdakwah?

"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung."
(Al-‘Imran : 104)

Ada yang gak percaya sama isi al qur’an? Nah ayat diatas sudah dengan sangat jelasnya meminta sebagian diantara kita ada segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan.. dan dalam ayat tersebut Allah menyebut orang-orang yang masuk kedalam golongan tersebut adalah orang yang beruntung.. wew.. asyiiik kaan??
Kawan, sadarkah kita akan begitu banyak kemaksiatan yang sekarang dilakukan secara terang-terangan.. makin hari makin parah.. Pernah seorang shalihah ditanya “mba, kenapa mba mau capek-capek melakukan hal ini(berdakwah)?”, dan mba yang shalihah itu pun menjawab “selain karena Allah, saya hanya mau menyiapkan lingkungan yang baik untuk anak-anak saya kelak”.. Hmm waktu mendengar tentang percakapan ini saya agak bingung, apa hubungannya dakwah sama menyiapkan lingkungan yang baik untuk anak-anaknya?? Lagian, mba yang ditanya itu kan masih muda, belum juga nikah, apalagi punya anak. Tapi setelah saya pikir-pikir, ternyata benar juga. Sekarang aja wanita-wanita muslim bisa dengan bangganya berpakaian super mini dihadapan umum, apalagi nanti zaman anak cucu kita? Sekarang aja yang namanya zina sudah jadi hal yang biasa dillakukan, apalagi nanti zaman anak cucu kita? Oh my.. ngeri banget ngebayanginnya..

Abu Said Al Khudry meriwayatkan, bahwa beliau berkata, “Saya mendengar Rasulullah bersabda, ‘Barangisapa di antara kalian melihat kemungkaran maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya, kalau ia tidak sanggup hendaklah ia mngubah dengan mulutnya, kalau ia masih tidak sanggup maka hendaklah ia mengingkarinya dengan hatinya, yang sedemikian ia adalah selemah-lemah iman’ “ (HR Muslim)

Dalam hadist lain beliau bersabda,
“Dari Abdullah bin Amru bin ‘ Ash, Rasulullah bersabda, ‘Sampaikan oleh kalian dariku walaupun hanya satu ayat….” ‘ (HR Bukhari)

Nah lho.. sudah berhasil mengingkari dengan hati ketika ada kemaksiatan aja masih dibilang “imannya lemah”, trs klo yang gak peduli atau yang yang justru menyeru kepada kemaksiatan gimana dong?? Imannya disebut apa?? _semoga Allah mengampuni_
Kesimpulannya, dari dalil dalil di atas menunjukkan, bahwa aktivitas dakwah (Amar Ma’rif nahi mungkar) adalah kewajiban setiap muslim dan muslimah sesuai dengan kondisi dan posisi masing-masing. Semuanya akan mendapat balasan dari Allah berdasarkan amal yang dikerjakan.

Apa yang membuatmu berpikir kau bukan pengemban dakwah?
Kadang saya berpikir, mengapa saya harus berletih-letih menjadi aktivis dakwah? Kenapa saya yang harus melakukan tugas ini? Mengapa saya harus saya yang harus memikirkan kelangsungan dakwah. Mengapa tidak kalian saja? Bukankah kita sama? Kau ingin prestasi akupun demikian. Lalu mengapa aku yang harus disini, Kenapa tidak kalian ?  Jika jawabannya karena kalian tidak tahu dan tidak mengerti, bukankah sudah kuberitahu dan kuberi pengertian, tetapi kenapa kalian masih enggan untuk hadir di sini? Apa yang membuatmu berpikir bahwa kau bukanlah pengemban dakwah? Kita sama-sama muslim, kita diberi potensi yang sama oleh Allah , bahkan kadang aku berpikir, jika kau mau berdakwah, akan lebih banyak hal yang bisa kau lakukan sebab kau begitu berkualitas, kau memiliki segala apa yang diinginkan setiap orang dan dengan itu orang akan lebih mudah untuk diajak. Apa yang membuatmu berpikir kau bebas dari tanggung jawab berdakwah?
Ini soal pilihan. Ya soal pilihan. Kita punya waktu yang sama dalam satu hari. Tapi hasil yang akan diperoleh masing-masing dari kita tentu berbeda. Bergantung dari usaha kita masing-masing.

“Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Allah akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”
[Muhammad:7]

“jika Allah menolong kamu, maka tidak ada yang dapat mengalahkanmu, tetapi jika Allah membiarkanmu (tidak memberi pertolongan), maka siapa yang dapat menolongmu setelah itu? Karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang beriman bertawakal.”
[Ali Imran: 160]

Hmm.. kalo bukan Allah, lantas siapa yang bisa menolong kita?? Hadeuuuh.. skakmat klo udah dihadapkan sama 2 ayat itu.. nyerah deh untuk berargumen.. saya lemah, dan cuma Allah yang bisa nolong saya, kalo mau ditolong sama Allah maka harus menolong agama Allah dulu. Titik.


Selasa, 5 juli 2011, 09:51 pm
_Pinggir timur jakarta_

Jangan Ganjeeen dan Jangan Mau Diganjenin,, :p


Entah ada syndrom apa belakangan ini.. syndrome “bulan janur kuning” kali yah.. pembahasan sekitar gak jauh-jauh dari undangan, kondangan, menikah, cinta, suka, dan kawan-kawannya.. agak jengah sih, tapi klo dipikir lagi, mungkin ini saatnya belajar tentang “beginian”.. hohoho
Well, inspirasi tulisan ini bermula saat adik tingkat saya curhat perkara hatinya yg tengah gundah gulana karena hal “begituan”.. banyak dari kita (mungkin saya pun termasuk) yang berpikir klo ngomongin “beginian” itu gak penting untuk saat ini. Masih banyak kalii hal (yg katanya lebih penting) yang harus dipikirin.. tapi pas dipikir2 lagi, ternyata banyak orang-orang hebat yang hancur karena masalah beginian.. hmm.. na’udzubillah.. karena itu saya jadi tertarik untuk sedikit mengulik tentang perkara yang satu ini.
***

Berdosakah aku mencintaimu?
#tsaaaaah, sub-judulnye mellow amat..

nggak ada yang dapat menghalangi kita untuk mencintai seseorang. Kadang secara nggak sadar perasaan itu tiba-tiba aja muncul. Lantas apa itu aib? Dosa gak? Perlu dimusnahkan? Menurut sumber yg saya baca, selama nggak melanggar syariat, maka nggak perlu khawatir..
Dalam islam, nggak ada tuh larangan atau ancaman yang mengatakan “janganlah jatuh cinta, sesungguhnya jatuh cinta itu perbuatan keji dan mungkar” atau “jatuh cinta akan mendatangkan azab yang pedih di akhirat”. Nggak ada kan? Kalaupun ada yang mendatangkan azab, itu adalah cinta yg terkontaminasi oleh nafsu syaitan.. so, jatuh cinta gpp kok, asal nggak melanggar syariat.

belajar dari kisah Ali dan Fatimah
“Wahai suamiku, sebelum menikah denganmu, aku pernah sangat menyukai seorang laki-laki dan aku sangat ingin menikah dengannya.”, kata fatimah. Deg! Ali pun tersentak kaget. Rona wajah berubah. Warna itu warna kaget campur cemburu campur marah campur kesel campur penasaran. Kebayang kayak apa warnanya?? Kebayang dong yaa :D
Dengan penuh kesabaran, dan ketenangan, Ali bertanya lembut, “apakah engkau menyesal menikah denganku?”
“oh, tidak”, jawab fatimah sambil mesam-mesem (*senyam-senyum).. “kau tau suamiku, laki-laki itu adalah engkau”.
*hayaaaah.. yg senyam-senyum hayoo ngacung..

Katanya nih Sebelum menikah Ali dan Fatimah menyimpan rahasia hati. Dua remaja yang diasuh dan dibesarkan dalam ranah kelurga kenabian ini tumbuh semakin dewasa. Ali dengan sifat kelaki-lakiannya kian hari kian matang. Piawai. Pemberani . ceria juga. Pun fatimah. Kian hari kian sempurna sifat keanitaannya. Ia shalihah, cerdas, ramah, dan sopan.Mereka saling simpati dan mencintai satu sama lain. Cinta mereka adalah cinta yang bersih, suci, dan jernih tanpa kontaminasi nafsu, syahwat, dan kawan-kawannya.
Cinta mereka adalah cinta yang keputusannya diserahkan hanya kepada Allah. Cinta yg rapat dan sangat rahasia. Rahasia sekali. Saking rahasianya, bahkan setan pun nggak tau kalau mereka saling mencintai. Hmmm.. keren amat yaaa.. setan aja nggak tauu..
Nah, gimana? Terinpirasi sesuatu kah dari kisah diatas? Sudah dapat kesimpulannya? Blm? Oke, biar ik bantu. Menurut ik, kesimpulannya adalah ketika kita jatuh cinta maka biar aku dan Tuhan kita saja yang tahu (sampai datang waktu yang tepat).. gmn? sepakat? :)

Dengan mengingat Allah hati menjadi tenang

... ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram.”
[Q.S. Ar Ra’d : 28]

Yakinlah bahwa Allah mempunyai rencana tersendiri. Bukankah setiap manusia telah ditentukan garis takdirnya? Hidup, mati, rezeki, jodoh, bahagia, celaka, semuanya sudah diatur oleh Allah.

Rasulullah bersabda, “ Allah SWT turun ke langit dunia ketika sepertiga malam yang pertama telah berlalu. Dia berkata ‘Akulah raja, siapa yang berdoa kepadaKu, Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku, Aku beri. Siapa yang meminta ampun pada-Ku, Aku ampuni.’ Dia terus berkata demikian hingga sinar fajar merekah.”
[H.R. Muslim]

Maha Suci Allah yang begitu mencintai makhlukNya. Mintalah padaNya. Bukankah Dia tak pernah ingkar janji??

Yang baik untuk yang baik pula
Ada sebuah nasihat “jangan mengharapkan pasangan hidup yang baik jika kita tak pernah berusaha untuk memperbaiki diri. Jangan kira Allah akan memberikan pasangan hidup yang yang suci jika kita sendiri tidak berusaha menyucikan diri.”
Jikamengharapkan yang baik, tentu kita pun harus baik. Hal ini berlaku baik untuk laki-laki pun perempuan.
“wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk wanita-anita yang keji (pula), dan wanita-anita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik (pula)
[Q.S. An Nuur : 26]

So, guys.. yukk kita jaga diri dan hati kita baik-baik.. jangan bermaksiat, dan jangan membuat orang lain bermaksian kaena kita.. maksudnya?? Hmm bahasa gampangnya jangan ganjeeen dan jangan mau diganjenin.. okeh ;)


5 juli 2011 23:43 pm
_pinggir timur jakarta_

Bertahan Saja

saat kau temui badai dalam perjalananmu..
kuatkanlah hati untuk bertahan dan menghadapinya sekalipun kau harus mati..
karena ketika kau memutuskan untuk berbalik pulang, maka pada saat yang sama kau telah kehilangan satu-satunya kesempatan menemui keniscayaan yang manis..
keniscayaan akan hadirnya pelangi..

***
2010
Februari pagi, kudapati ibu yang pucat pasi di depan pintu.
“kamu mau kemana?”
“kampus. Ada apa sih? Pucet gitu?”
“bapak”
“bapak kenapa? Kambuh lagi sakit pinggangnya?”
“bapak dari subuh tadi ngga bisa bangun. Pinggangnya tambah parah. Shalat aja sambil tiduran. Ibu ngga mau tau pokoknya hari ini harus cek ke rumah sakit.”
Bapak, 48 tahun, Sudah hampir setahun mengeluhkan sakit dipinggangnya. Sudah berkali-kali ke dokter. Berkali-kali sembuh. Tapi juga berkali-kali kambuh. Slama setahun itu kami tak pernah tahu pasti apa yang terjadi pada pinggang bapak. Setiap diajak ke rumah sakit untuk pemeriksaan yang lebih serius, bapak selalu menolak dan bilang “ah, Cuma sakit pinggang. Wajar. Faktor umur.”
Saat itu, tak ada yang berpikir itu penyakit yang serius. Karena memang diantara kami berempat – bapak, ibu, saya, dan adik – bapaklah yang hidup dengan cara yang paling sehat. Paling teratur pola makan dan istirahatnya, kecuali ada hal yang mendesak. Paling rajin olah raga, paling memikirkan nutrisi yang masuk ke dalam tubuhnya. Ya, Cuma bapak yang seperti itu. Sepanjang hidupnya pun, sakit yang dideritanya tak pernah lebih parah dari pilek dan demam. Tapi pagi ini, saya yakin betul kalau bapak bukan menderita sakit pinggang biasa.
Akhirnya saya urung pergi kuliah. Mengingat kami bukan keluarga yang memiliki banyak kerabat dijakarta yang bisa dimintai tolong sewaktu-waktu dan ibu yang seringkali berkeberatan berurusan dengna “sistem”, jadilah saya sebagai sulung bertanggungjawab mengurus registrasi, administrasi, memilih dokter yang pas, sampai akhirnya bisa janjian dengan dokter tersebut.
Butuh waktu hampir 2 minggu untuk mendapati hasil diagnosis lengkap tentang penyakit yang bapak derita. Tes ini itu. Suntik ini itu. Rongent. MRI. Bahkan dokter yang menangani bapak ngga cuma satu. Ada tiga; dokter spesialis penyakit dalam, dokter paru, sama dokter syaraf. Ribet banget. asli. Rasanya bapak kayak pejabat karena ditangani beberapa dokter skaligus begitu.. Hehe :D Sepanjang proses diagnosis itu, bapak masih (terlihat) normal. Masih bisa bergerak dan berjalan seperti biasa. Hanya sesekali mengeluhkan ada “rasa aneh” disekujur kaki kanannya. Saya pun berusaha sewajar mungkin menanggapinya.
***
-di ruang dokter-
TBC tulang. Begitulah hasil diagnosanya. Dua ruas tulang belakang bapak diserang oleh mikobakteri tuberkolusa hingga membuatnya tersebut hancur, dan menyumbat syaraf utama. Dokter bilang, jika tidak segera ditangani, besar kemungkinan bapak akan mengalami kelumpuhan permanen karena syaraf utamanya tersumbat.

Kami pun baru menyadari bahwa badai benar-benar akan datang dalam kehidupan kami.

habis pikir rasanya. Bapak yang tidak pernah sakit parah. Bapak yang selalu rutin olah raga. Bapak yang paling memperhatikan setiap nutrisi yang masuk ke dalam tubuhnya. Bapak yang jadwal makannya selalu teratur. Bapak yang begitu aware dengan kebersihan. Bapak dengan pola hidup yang sebegitu sehat, nyata-nyata terserang penyakit TBC. Kau tau kawan, bahkan tidak ada sedikit pun tanda yang membuat kami berpikir ke arah sana. Mungkin semua orang tahu bahwa gejala paling umum yang ditampakan penderita penyakit tersebut adalah batuk. Ah, bapak tidak pernah menderita sakit batuk sejak dua tahun terakhir. Nafsu makan bapak pun baik. Berat badannya pun stabil. Bukan nyaris, tapi memang benar-benar tak ada tanda yang memaksa kami untuk berpikir ke arah sana.
Bahkan lebih dari itu. Dokter bilang bapak harus menjalani operasi pengangkatan dua ruas tulang belakang bapak yang hancur itu.
“Di angkat? Dua ruas tulang yang fungsinya begitu fital itu dokter bilang harus di angkat? Meski saya bukan dokter, sebagai anak IPA saya cukup tahu seberapa urgent keberadaan dua ruas tulang itu. Kalau tulang-tulang itu di angkat, lantas siapa atau apa yang akan menggantikan perannya? Minimal untuk dua fungsi utamanya; menopang tubuh, dan melindungi syaraf halus yang ada didalam rongganya.”, pikiran saya meracau tak terkendali.
Pen. Begitu jawab dokter seakan tau apa yang saya pikirkan. Dua ruas tulang itu nanti akan diganti dengan pen logam. Biaya operasi pemasangannya 60 – 70 juta. Itu hanya untuk operasinya saja. Belum termasuk biaya obat, ICU, dan biaya perawatan.
“What?? Diganti logam?? Dipikir bapak saya robot kali yah. Seenaknya aja mau ganti ruas tulang yang sebegitu penting pake logam. Trus bapak saya harus selamanya hidup dengan logam tertanam di punggungnya?? Biaya operasinya?? Bohong besar logam itu nanti tidak butuh perawatan berkala. Apa bisa selamanya dalam tubuh?? Apa iya suatu saat logam itu ngga perlu diganti?? Kalau perlu diganti, lantas punggung bapak saya dibedah lagi?? Lantas biayanya?? ”, racauan pikiran saya makin tak terkendali. Ya. Untung hanya dalam pikiran.
Kami bertiga keluar dari ruangan tanpa bicara. Kemudian terduduk di ruang tunggu. Masih tanpa bicara. Senyap dalam keramaian. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Akhirnya bapak yang bicara. Singkat tapi jelas.
“terserah kalian mau bawa bapak berobat kemana. Yang jelas bapak ngga mau di operasi”
Ibu, pun saya, cuma diam.
***
Baiklah. Kami memutuskan untuk berdamai dengan hati. Berdamai dengan takdir. Tak lagi memikirkan sebab, kami fokus pada solusi. Fokus pada proses penyembuhan.
Akhirnya kami memutuskan mengombinasikan pengobatan medis dengan pengobatan alternatif.
Pengobatan pertama yang kami tuju adalah pengobatan herbal dari malaysia. Lokasinya dikisaran bekasi.  Referensi dari seorang teman. Saat itu kondisi bapak justru semakin buruk dari hari ke hari. Nyeri luar biasa, begitu yang tergambar dari wajahnya saat berusaha berjalan. Meski terpapah. Meski tertatih. Meski nyeri. Bapak tetap berusaha berdiri, berjalan senormal mungkin. Bapak berusaha menolak sekuat tenaga tentang vonis kelumpuhan yang mungkin akan menjelang. Kelumpuhan yang mungkin akan mengubahnya dari hero menjadi zero.
***
Tiga bulan. Tak ada progress. Kami memutuskan untuk pindah pengobatan.
Terapi zikir di kisaran menteng. Ini pengobatan yang kedua, dan jujur, inilah fase paling berat bagi kami. Kenapa?
Pertama, kondisi bapak yang semakin buruk. Pada awal fase ini saja bapak sudah harus dibantu kruk saat berjalan. Itupun harus benar dijaga agar tidak jatuh. Kaki bapak makin tidak bisa dikendalikan oleh otaknya kala itu. Penyumbatan benar – benar membuat organ tubuh bapak tak lagi berfungsi baik dari batas pinggang ke bawah.
Kedua, pengobatan ini mengharuskan pasiennya datang setiap hari. Mengingat kondisinya, bapak jelas tidak bisa pergi terapi sendirian. Ibu? Sejak bapak sakit, ibu harus fokus mencari nafkah. Karena kami harus makan, hidup kami harus berjalan. Adik saya? Saat kami berangkat terapi, ia selalu belum pulang sekolah. Akhirnya, saya yang berusaha menemani bapak setiap hari. nah, jadilah saya, si kupu-kupu. Kuliah – pulang – kuliah – pulang. Menghilang sama sekali dari orbit kampus. Memaksa diri melupakan asiknya menikmati rapat ini itu. Jadi panitia acara ini itu. Ya, sama sekali tak ada tempat.
Ketiga, masalah biaya. Cakung – menteng memang bukan jarak yang terlalu jauh. Tapi mengingat kami tidak punya mobil, maka kami harus menempuhnya setiap hari dengan taksi. Tentu butuh biaya bukan? Belum lagi biaya terapinya. Jika ditambah dengan biaya terapi, maka setiap hari kami tak kurang harus menyiapkan 350ribu rupiah. Setiap hari. Tanpa jeda. Mudah mungkin bagi keluarga yang berkecukupan. Tapi bagi kami? Saat itu yang kami tahu hanya “Tuhan kami Maha Kaya”.
Saat ini, saya selalu tersenyum sendiri kala melewati ruas jalan pramuka. Ruas jalan yang kala itu terpaksa jadi saksi bagaimana saya menyembunyikan tangis kebingungan akan hari esok. Sungguh, 350ribu disetiap harinya, sama sekali bukan perkara yang mudah bagi saya.
Kawan, pada fase pengobatan yang kedua ini saya “dipaksa” BELAJAR tentang arti kata sulung dengan segala tanggung jawabnya. saya jadi sedikit tahu rasanya bagaimana jadi orang tua. Tentang hebatnya jadi ayah.
Entah kenapa sejak dulu saya punya kebiasaan meracau sendiri dalam hati ketika dalam kendaraan. Tak peduli perjalanan dari atau hendak kemana. Selalu begitu. Sepanjang perjalanan saya sering memikirkan banyak hal. Menyimpulkan banyak fragmen. Dan baru pada fase ini, yang saya pikirkan dalam setiap perjalanan saya adalah tentang cukupkah uang saya untuk membayar SPP adik saya bulan ini, terapi bapak esok hari, biaya kontrakan dan listrik bulan ini, biaya kuliah saya di awal semester nanti. Kalian tahu? Memikirkan hal-hal itu sensasinya luar biasa..
Dan baru pada fase ini pula saya hanya dihadapkan pada dua pilihan. cari uang atau benamkan dalam-dalam saja keinginan untuk jadi sarjana.
***

Kondisi bapak makin buruk dari hari ke hari. Di bulan yang ke 5 sejak vonis dokter, bapak benar-benar mengalami kelumpuhan. Ya, segala organ dari batas pinggang ke bwah tak lagi bisa digerakkan. Segala aktivitasnya dilakukan diatas tempat tidur. Ah, perihnya luar biasa.
Bapak yang selama ini selalu jadi superhero di rumah kami, sekarang, duduk saja tak mampu. bahkan untuk memiringkan tubuhnya harus dibantu.
Hampir habis asa kala itu. Bahkan, saya memutuskan untuk mempersiapkan diri ketika saya harus benar-benar kehilangan bapak. Ya. Saya mempersiapkan diri akan itu. Bukan karena pesimis. Saya hanya tidak mau terlalu terpuruk nanti ketika kemungkinan itu benar-benar terjadi.
***
  
4 bulan menjalani terapi zikir di menteng. Tak ada progress. Justru semakin memburuk. Ah..

saat kau temui badai dalam perjalananmu..
kuatkanlah hati untuk bertahan dan menghadapinya sekalipun kau harus mati..
karena ketika kau memutuskan untuk berbalik pulang, maka pada saat yang sama kau telah kehilangan satu-satunya kesempatan menemui keniscayaan yang manis..
keniscayaan akan hadirnya pelangi..

kalimat itu. Ya kalimat itu yang selalu saya rapal untuk menguatkan hati saat ia merajuk-rajuk meminta menyerah.. kalimat yang saya sendiri tidak tahu saya dapat dari mana..
***

Tempat terapi ketiga. Terapi tulang di daerah Balaraja, Banten. Selama sebulan penuh ibu dan bapak tinggal disana untuk menghemat biaya perjalanan. Saya dan adik, hanya berdua di jakarta. Bertahan hidup berdua.
Kawan, pada fase ini saya begitu “dipaksa” untuk belajar tentang peran seorang ibu dan ayah sekaligus. Tanpa bapak dan ibu dirumah, maka sebagai sulung, saya –mau tidak mau– yang menjadi nahkodanya. Mengatur semuanya.
Pada akhirnya, pengobatan ketiga tak juga memberikan progress. Ibu dan bapak memutuskan untuk kembali pulang. Setelah dipikirkan, ibu baiknya tetap dijakarta. Karena jika ibu disana, maka ibu harus berhenti berjualan. Dan itu berarti pemasukan keluarga akan berkurang.
***

Pernah dengan tentang teori kepuasan? Hmm teori gossen kalau tidak salah.

Lelah, tak akan lagi terasa lelah ketika sudah berkali-kali.
Sakit, tak lagi terasa sakit saat sudah terlalu bertubi-tubi.

Yah, mungkin begitu kami (saya dan ibu, Red.) menerapkannya. Kami sudah mati rasa dengan rasa lelah. Jika harapan dalam hati kami akan kesembuhan bapak sudah hilang, maka sempurnalah kami berdua seperti robot. Nyaris mati rasa. Hanya berusaha bergerak menjalani apa yang ada.
***
Pengobatan keempat, terapi akupuntur - rawamangun.
Pasrah sepasrah – pasrahnya. Begitulah kami memulainya. Karena sungguh, yang kami punya hanya harapan. Cuma itu.
3 bulan. Tak juga ada kemajuan. Tapi bapak bersikukuh untuk melanjutkan pengobatan disana. Memasuki bulan keempat, bapak mendadak heboh karena –akhirnya– jari kakinya bisa digerakkan. Hanya jari kaki, kawan. Gerakannya pun gerakan halus. Haluuuuuus sekali. Tapi sungguh, itu kabar yang luar biasa menyenangkan untuk kami. Menjadi luar biasa karena selama 8 bulan yang kami dapati hanya kondisi bapak yang makin memburuk.
Kau tahu, kemajuan kecil itu ternyata menjadi suntikan semangat yang luar biasa untuk kami. Untuk bapak khususnya. Pintu menuju kesembuhan seakan sudah terlihat, meski belum terbuka.
Kian hari, Alhamdulillah, kemajuan bapak semakin pesat. Layaknya balita, bapak belajar duduk sendiri tanpa penopang, belajar merangkak, belajar berdiri, juga belajar berjalan. Prosesnya persis seperti balita. Tertatih. Merambat – rambat. Menyenangkan. J
***

Alhamdulillah
Hari ini bapak sudah sembuh..
Bisa berjalan seperti sediakala (meski kadang msih suka oleng.. hehe :P).
***

Badai ini yang luar biasa, kawan..
Setidaknya bagiku..
Badai ini yang mengajari saya tentang makna kata sulung berikut segala tanggung jawabnya..
Badai ini yang membuka mata saya bahwa Tuhan begitu dekat, begitu Pencinta, begitu Baik.
Badai ini yang mengajari saya tentang cara menyembunyikan tangis..
Bahkan membuat saya jadi sulit menangis..

Badai ini pula yang membuat saya akrab dengan lelah..
Badai ini yang membuat saya belajar sedalam-dalamnya tentang makna pasrah..
pasrah yang paling pasrah..
Badai ini yang tanpa sengaja mendidik saya menjadi insomnia..
memaksa saya mencecap –sebentar– rasanya jadi ibu, jadi ayah..
menuntut saya menjadi tulang punggung yang kuat..
memaksa saya terampil menutup telinga dari komentar yang melemahkan.. 

ah, meski benci, badai ini pula yang memaksa saya menjadi guru yang matrealistis. Memilih murid berdasarkan besarnya bayaran. Terserah orang mau bilang apa. Bagaimanapun, bapak harus tetap terapi, saya harus tetap kuliah, adik saya tetap harus sekolah, kami harus tetap punya tempat tinggal dan kami harus tetap hidup. Dan kesemuanya itu butuh biaya yang tidak sedikit sementara penghasilan ibu jauh dari cukup untuk memenuhi itu semua.
Kawan, Badai ini pula yang akhirnya membantu saya melihat mana teman yang baik, dan mana teman yang baik sekali. ;)
Mana yang bisa dan mau jadi penopang, dan mana yang justru hanya melemahkan.

Ya, akhirnya badai kami telah usai, kawan.
Badai kami sudah berlalu..
Ya, Karena dua tahun lalu kami memutuskan untuk bertahan, maka hari ini kami diberi kesempatan untuk melihat pelangi. :)


-Epilog-
Yang saya yakini, Tuhan tengah menyiapkan saya akan sebuah kondisi didepan sana hingga Ia sebegininya mendidik saya. Entah kondisi macam apa itu. 



*Jakarta, 5 Januari 2012