saat
kau temui badai dalam perjalananmu..
kuatkanlah
hati untuk bertahan dan menghadapinya sekalipun kau harus mati..
karena
ketika kau memutuskan untuk berbalik pulang, maka pada saat yang sama kau telah
kehilangan satu-satunya kesempatan menemui keniscayaan yang manis..
keniscayaan
akan hadirnya pelangi..
***
2010
Februari
pagi, kudapati ibu yang pucat pasi di depan pintu.
“kamu
mau kemana?”
“kampus.
Ada apa sih? Pucet gitu?”
“bapak”
“bapak
kenapa? Kambuh lagi sakit pinggangnya?”
“bapak
dari subuh tadi ngga bisa bangun. Pinggangnya tambah parah. Shalat aja sambil
tiduran. Ibu ngga mau tau pokoknya hari ini harus cek ke rumah sakit.”
Bapak,
48 tahun, Sudah hampir setahun mengeluhkan sakit dipinggangnya. Sudah
berkali-kali ke dokter. Berkali-kali sembuh. Tapi juga berkali-kali kambuh.
Slama setahun itu kami tak pernah tahu pasti apa yang terjadi pada pinggang
bapak. Setiap diajak ke rumah sakit untuk pemeriksaan yang lebih serius, bapak
selalu menolak dan bilang “ah, Cuma sakit pinggang. Wajar. Faktor umur.”
Saat
itu, tak ada yang berpikir itu penyakit yang serius. Karena memang diantara
kami berempat – bapak, ibu, saya, dan adik – bapaklah yang hidup dengan cara
yang paling sehat. Paling teratur pola makan dan istirahatnya, kecuali ada hal
yang mendesak. Paling rajin olah raga, paling memikirkan nutrisi yang masuk ke
dalam tubuhnya. Ya, Cuma bapak yang seperti itu. Sepanjang hidupnya pun, sakit
yang dideritanya tak pernah lebih parah dari pilek dan demam. Tapi pagi ini,
saya yakin betul kalau bapak bukan menderita sakit pinggang biasa.
Akhirnya
saya urung pergi kuliah. Mengingat kami bukan keluarga yang memiliki banyak
kerabat dijakarta yang bisa dimintai tolong sewaktu-waktu dan ibu yang
seringkali berkeberatan berurusan dengna “sistem”, jadilah saya sebagai sulung
bertanggungjawab mengurus registrasi, administrasi, memilih dokter yang pas,
sampai akhirnya bisa janjian dengan
dokter tersebut.
Butuh
waktu hampir 2 minggu untuk mendapati hasil diagnosis lengkap tentang penyakit
yang bapak derita. Tes ini itu. Suntik ini itu. Rongent. MRI. Bahkan dokter
yang menangani bapak ngga cuma satu. Ada tiga; dokter spesialis penyakit dalam,
dokter paru, sama dokter syaraf. Ribet banget. asli. Rasanya bapak kayak
pejabat karena ditangani beberapa dokter skaligus begitu.. Hehe :D Sepanjang
proses diagnosis itu, bapak masih (terlihat) normal. Masih bisa bergerak dan
berjalan seperti biasa. Hanya sesekali mengeluhkan ada “rasa aneh” disekujur
kaki kanannya. Saya pun berusaha sewajar mungkin menanggapinya.
***
-di
ruang dokter-
TBC
tulang. Begitulah hasil diagnosanya. Dua ruas tulang belakang bapak diserang
oleh mikobakteri tuberkolusa hingga membuatnya tersebut hancur, dan menyumbat
syaraf utama. Dokter bilang, jika tidak segera ditangani, besar kemungkinan
bapak akan mengalami kelumpuhan permanen karena syaraf utamanya tersumbat.
Kami pun baru menyadari
bahwa badai benar-benar akan datang dalam kehidupan kami.
habis pikir rasanya. Bapak yang tidak pernah sakit parah. Bapak yang selalu
rutin olah raga. Bapak yang paling memperhatikan setiap nutrisi yang masuk ke
dalam tubuhnya. Bapak yang jadwal makannya selalu teratur. Bapak yang begitu
aware dengan kebersihan. Bapak dengan pola hidup yang sebegitu sehat,
nyata-nyata terserang penyakit TBC. Kau tau kawan, bahkan tidak ada sedikit pun
tanda yang membuat kami berpikir ke arah sana. Mungkin semua orang tahu bahwa
gejala paling umum yang ditampakan penderita penyakit tersebut adalah batuk.
Ah, bapak tidak pernah menderita sakit batuk sejak dua tahun terakhir. Nafsu
makan bapak pun baik. Berat badannya pun stabil. Bukan nyaris, tapi memang
benar-benar tak ada tanda yang memaksa kami untuk berpikir ke arah sana.
Bahkan
lebih dari itu. Dokter bilang bapak harus menjalani operasi pengangkatan dua
ruas tulang belakang bapak yang hancur itu.
“Di angkat? Dua ruas tulang yang
fungsinya begitu fital itu dokter bilang harus di angkat? Meski saya bukan
dokter, sebagai anak IPA saya cukup tahu seberapa urgent keberadaan dua ruas
tulang itu. Kalau tulang-tulang itu di angkat, lantas siapa atau apa yang akan
menggantikan perannya? Minimal untuk dua fungsi utamanya; menopang tubuh, dan
melindungi syaraf halus yang ada didalam rongganya.”,
pikiran saya meracau tak terkendali.
Pen.
Begitu jawab dokter seakan tau apa yang saya pikirkan. Dua ruas tulang itu
nanti akan diganti dengan pen logam. Biaya operasi pemasangannya 60 – 70 juta.
Itu hanya untuk operasinya saja. Belum termasuk biaya obat, ICU, dan biaya
perawatan.
“What?? Diganti logam?? Dipikir bapak
saya robot kali yah. Seenaknya aja mau ganti ruas tulang yang sebegitu penting
pake logam. Trus bapak saya harus selamanya hidup dengan logam tertanam di
punggungnya?? Biaya operasinya?? Bohong besar logam itu nanti tidak butuh
perawatan berkala. Apa bisa selamanya dalam tubuh?? Apa iya suatu saat logam
itu ngga perlu diganti?? Kalau perlu diganti, lantas punggung bapak saya
dibedah lagi?? Lantas biayanya?? ”, racauan pikiran saya
makin tak terkendali. Ya. Untung hanya dalam pikiran.
Kami
bertiga keluar dari ruangan tanpa bicara. Kemudian terduduk di ruang tunggu.
Masih tanpa bicara. Senyap dalam keramaian. Kami sibuk dengan pikiran
masing-masing. Akhirnya bapak yang bicara. Singkat tapi jelas.
“terserah
kalian mau bawa bapak berobat kemana. Yang jelas bapak ngga mau di operasi”
Ibu,
pun saya, cuma diam.
***
Baiklah.
Kami memutuskan untuk berdamai dengan hati. Berdamai dengan takdir. Tak lagi
memikirkan sebab, kami fokus pada solusi. Fokus pada proses penyembuhan.
Akhirnya
kami memutuskan mengombinasikan pengobatan medis dengan pengobatan alternatif.
Pengobatan
pertama yang kami tuju adalah pengobatan herbal dari malaysia.
Lokasinya dikisaran bekasi. Referensi
dari seorang teman. Saat itu kondisi bapak justru semakin buruk dari hari ke
hari. Nyeri luar biasa, begitu yang tergambar dari wajahnya saat berusaha
berjalan. Meski terpapah. Meski tertatih. Meski nyeri. Bapak tetap berusaha
berdiri, berjalan senormal mungkin. Bapak berusaha menolak sekuat tenaga
tentang vonis kelumpuhan yang mungkin akan menjelang. Kelumpuhan yang mungkin
akan mengubahnya dari hero menjadi zero.
***
Tiga
bulan. Tak ada progress. Kami memutuskan untuk pindah pengobatan.
Terapi
zikir di kisaran menteng. Ini pengobatan yang kedua, dan jujur, inilah fase
paling berat bagi kami. Kenapa?
Pertama,
kondisi bapak yang semakin buruk. Pada awal fase ini saja bapak sudah harus
dibantu kruk saat berjalan. Itupun harus benar dijaga agar tidak jatuh. Kaki
bapak makin tidak bisa dikendalikan oleh otaknya kala itu. Penyumbatan benar –
benar membuat organ tubuh bapak tak lagi berfungsi baik dari batas pinggang ke
bawah.
Kedua,
pengobatan ini mengharuskan pasiennya datang setiap hari. Mengingat kondisinya,
bapak jelas tidak bisa pergi terapi sendirian. Ibu? Sejak bapak sakit, ibu
harus fokus mencari nafkah. Karena kami harus makan, hidup kami harus berjalan.
Adik saya? Saat kami berangkat terapi, ia selalu belum pulang sekolah.
Akhirnya, saya yang berusaha menemani bapak setiap hari. nah, jadilah saya, si
kupu-kupu. Kuliah – pulang – kuliah – pulang. Menghilang sama sekali dari orbit
kampus. Memaksa diri melupakan asiknya menikmati rapat ini itu. Jadi panitia
acara ini itu. Ya, sama sekali tak ada tempat.
Ketiga,
masalah biaya. Cakung – menteng memang bukan jarak yang terlalu jauh. Tapi
mengingat kami tidak punya mobil, maka kami harus menempuhnya setiap hari
dengan taksi. Tentu butuh biaya bukan? Belum lagi biaya terapinya. Jika ditambah
dengan biaya terapi, maka setiap hari kami tak kurang harus menyiapkan 350ribu rupiah. Setiap hari. Tanpa jeda. Mudah mungkin bagi keluarga yang berkecukupan.
Tapi bagi kami? Saat itu yang kami tahu hanya “Tuhan kami Maha Kaya”.
Saat
ini, saya selalu tersenyum sendiri kala melewati ruas jalan pramuka. Ruas jalan
yang kala itu terpaksa jadi saksi bagaimana saya menyembunyikan tangis
kebingungan akan hari esok. Sungguh, 350ribu disetiap harinya, sama sekali
bukan perkara yang mudah bagi saya.
Kawan,
pada fase pengobatan yang kedua ini saya “dipaksa” BELAJAR tentang arti kata
sulung dengan segala tanggung jawabnya. saya jadi sedikit tahu rasanya
bagaimana jadi orang tua. Tentang hebatnya jadi ayah.
Entah
kenapa sejak dulu saya punya kebiasaan meracau sendiri dalam hati ketika dalam kendaraan.
Tak peduli perjalanan dari atau hendak kemana. Selalu begitu. Sepanjang perjalanan
saya sering memikirkan banyak hal. Menyimpulkan banyak fragmen. Dan baru pada
fase ini, yang saya pikirkan dalam setiap perjalanan saya adalah tentang
cukupkah uang saya untuk membayar SPP adik saya bulan ini, terapi bapak esok
hari, biaya kontrakan dan listrik bulan ini, biaya kuliah saya di awal semester
nanti. Kalian tahu? Memikirkan hal-hal itu sensasinya luar biasa..
Dan
baru pada fase ini pula saya hanya dihadapkan pada dua pilihan. cari uang atau
benamkan dalam-dalam saja keinginan untuk jadi sarjana.
***
Kondisi
bapak makin buruk dari hari ke hari. Di bulan yang ke 5 sejak vonis dokter,
bapak benar-benar mengalami kelumpuhan. Ya, segala organ dari batas pinggang ke
bwah tak lagi bisa digerakkan. Segala aktivitasnya dilakukan diatas tempat
tidur. Ah, perihnya luar biasa.
Bapak
yang selama ini selalu jadi superhero di rumah kami, sekarang, duduk saja tak
mampu. bahkan untuk memiringkan tubuhnya harus dibantu.
Hampir
habis asa kala itu. Bahkan, saya memutuskan untuk mempersiapkan diri ketika
saya harus benar-benar kehilangan bapak. Ya. Saya mempersiapkan diri akan itu.
Bukan karena pesimis. Saya hanya tidak mau terlalu terpuruk nanti ketika
kemungkinan itu benar-benar terjadi.
***
4
bulan menjalani terapi zikir di menteng. Tak ada progress. Justru semakin
memburuk. Ah..
saat
kau temui badai dalam perjalananmu..
kuatkanlah
hati untuk bertahan dan menghadapinya sekalipun kau harus mati..
karena
ketika kau memutuskan untuk berbalik pulang, maka pada saat yang sama kau telah
kehilangan satu-satunya kesempatan menemui keniscayaan yang manis..
keniscayaan
akan hadirnya pelangi..
kalimat
itu. Ya kalimat itu yang selalu saya rapal untuk menguatkan hati saat ia
merajuk-rajuk meminta menyerah.. kalimat yang saya sendiri tidak tahu saya
dapat dari mana..
***
Tempat
terapi ketiga. Terapi tulang di daerah Balaraja, Banten. Selama sebulan penuh ibu dan
bapak tinggal disana untuk menghemat biaya perjalanan. Saya dan adik, hanya berdua di jakarta. Bertahan hidup berdua.
Kawan,
pada fase ini saya begitu “dipaksa” untuk belajar tentang peran seorang ibu dan
ayah sekaligus. Tanpa bapak dan ibu dirumah, maka sebagai sulung, saya –mau
tidak mau– yang menjadi nahkodanya. Mengatur semuanya.
Pada
akhirnya, pengobatan ketiga tak juga memberikan progress. Ibu dan bapak
memutuskan untuk kembali pulang. Setelah dipikirkan, ibu baiknya tetap
dijakarta. Karena jika ibu disana, maka ibu harus berhenti berjualan. Dan itu
berarti pemasukan keluarga akan berkurang.
***
Pernah
dengan tentang teori kepuasan? Hmm teori gossen kalau tidak salah.
Lelah,
tak akan lagi terasa lelah ketika sudah berkali-kali.
Sakit,
tak lagi terasa sakit saat sudah terlalu bertubi-tubi.
Yah,
mungkin begitu kami (saya dan ibu, Red.) menerapkannya. Kami sudah mati rasa
dengan rasa lelah. Jika harapan dalam hati kami akan kesembuhan bapak sudah
hilang, maka sempurnalah kami berdua seperti robot. Nyaris mati rasa. Hanya
berusaha bergerak menjalani apa yang ada.
***
Pengobatan
keempat, terapi akupuntur - rawamangun.
Pasrah
sepasrah – pasrahnya. Begitulah kami memulainya. Karena sungguh, yang kami
punya hanya harapan. Cuma itu.
3
bulan. Tak juga ada kemajuan. Tapi bapak bersikukuh untuk melanjutkan
pengobatan disana. Memasuki bulan keempat, bapak mendadak heboh karena
–akhirnya– jari kakinya bisa digerakkan. Hanya jari kaki, kawan. Gerakannya pun
gerakan halus. Haluuuuuus sekali. Tapi sungguh, itu kabar yang luar biasa
menyenangkan untuk kami. Menjadi luar biasa karena selama 8 bulan yang kami
dapati hanya kondisi bapak yang makin memburuk.
Kau
tahu, kemajuan kecil itu ternyata menjadi suntikan semangat yang luar biasa
untuk kami. Untuk bapak khususnya. Pintu menuju kesembuhan seakan sudah
terlihat, meski belum terbuka.
Kian
hari, Alhamdulillah, kemajuan bapak semakin pesat. Layaknya balita, bapak
belajar duduk sendiri tanpa penopang, belajar merangkak, belajar berdiri, juga belajar
berjalan. Prosesnya persis seperti balita. Tertatih. Merambat – rambat. Menyenangkan.
J
***
Alhamdulillah
Hari
ini bapak sudah sembuh..
Bisa
berjalan seperti sediakala (meski kadang msih suka oleng.. hehe :P).
***
Badai
ini yang luar biasa, kawan..
Setidaknya
bagiku..
Badai
ini yang mengajari saya tentang makna kata sulung berikut segala tanggung
jawabnya..
Badai
ini yang membuka mata saya bahwa Tuhan begitu dekat, begitu Pencinta, begitu
Baik.
Badai
ini yang mengajari saya tentang cara menyembunyikan tangis..
Bahkan
membuat saya jadi sulit menangis..
Badai
ini pula yang membuat saya akrab dengan lelah..
Badai
ini yang membuat saya belajar sedalam-dalamnya tentang makna pasrah..
pasrah
yang paling pasrah..
Badai
ini yang tanpa sengaja mendidik saya menjadi insomnia..
memaksa
saya mencecap –sebentar– rasanya jadi ibu, jadi ayah..
menuntut
saya menjadi tulang punggung yang kuat..
memaksa
saya terampil menutup telinga dari komentar yang melemahkan..
ah,
meski benci, badai ini pula yang memaksa saya menjadi guru yang matrealistis.
Memilih murid berdasarkan besarnya bayaran. Terserah orang mau bilang apa.
Bagaimanapun, bapak harus tetap terapi, saya harus tetap kuliah, adik saya
tetap harus sekolah, kami harus tetap punya tempat tinggal dan kami harus tetap
hidup. Dan kesemuanya itu butuh biaya yang tidak sedikit sementara penghasilan
ibu jauh dari cukup untuk memenuhi itu semua.
Kawan,
Badai ini pula yang akhirnya membantu saya melihat mana teman yang baik, dan
mana teman yang baik sekali. ;)
Mana
yang bisa dan mau jadi penopang, dan mana yang justru hanya melemahkan.
Ya,
akhirnya badai kami telah usai, kawan.
Badai
kami sudah berlalu..
Ya,
Karena dua tahun lalu kami memutuskan untuk bertahan, maka hari ini kami diberi
kesempatan untuk melihat pelangi. :)
-Epilog-
Yang
saya yakini, Tuhan tengah menyiapkan saya akan sebuah kondisi didepan sana
hingga Ia sebegininya mendidik saya. Entah kondisi macam apa itu.
*Jakarta, 5 Januari 2012