Langit sudah berganti layar. Saat itu gelap. Dan pada detik itu
saya masih terduduk di halte depan kampus. Sedang apa? Sedang menunggu sahabat
baik untuk pulang bersama. Yaaa barangkali ada cerita bermakna yang bisa kami
bagi nanti.
Tak lama setelah ia tiba, minibus yang akan
membawa kami pulang pun tiba. Sebenarnya kami enggan ikut. Terlalu sesak untuk
tubuh kami yang sudah terlalu penat. Tapi apa daya. Akhirnya kami ikut juga. ya
sudahlah. Dari pada lebih lama jadi santapan para nyamuk di halte tadi. Berdoa
saja semoga di perempatan depan sana akan banyak penumpang yang turun, jadi
kami bisa duduk.
Ah, ternyata salah keputusan kami untuk naik dari
pintu belakang. Kenapa? Karena semua penumpang di jajaran kursi belakang adalah
kaum lelaki. Huhuhu.. #syerem >.< Tapi positif thinking saja lah. Siapa tau ada
dari mas-mas atau bapak-bapak itu yang mau merelakan tempat duduknya untuk kami
(perempuan, Red.). Kayak yang di novel ayat-ayat cinta gitu. Mengalah untuk
perempuan.. #tsaaah :D
Dan selanjutnya, fakta yang terjadi adalaaaaah...
Perempatan pertama: macet, Kami berdiri.
Perempatan kedua: macet juga, Kami masih berdiri.
(Menjelang) perempatan ketiga: macet sudah
berlalu, minibus kami ngebut banget, Kami juga masih berdiri. Bedanya kali ini
kami berdiri sambil terpelanting kesana
kemari.
Menuju perempatan ke empat, kami sudah putus
harapan. Kami putus harapan akan ada 2 dari kelima lelaki itu yang mau
merelakan tempat duduknya untuk kami. #nasip -____-‘
*Rawamangun-pondok kopi, 21 sept 2011.
***
Dari pengalaman itu saya jadi bertanya dalam hati
“peduli itu sekarang sedang pergi kemana ya?” “kenapa sekarang ini lebih banyak
orang yang apatis daripada orang yang sensitif terhadap derita orang lain?”
Bukan. Bukan saya menganggap bahwa berdiri di
dalam minibus di sepanjang perjalanan pulang itu adalah sebuah derita. Cuma
satu jam kok. Yaa, mungkin akan jadi sebuah derita kalau saya berdirinya di
atap minibusnya. #eh *horor :D
Pada dasarnya pengalaman sore tadi hanya menjadi
pemicu bagi saya untuk menuliskan hal ini. Sekarang okelah kalau saya tidak
mendapat perlakuan istimewa sebagai perempuan dari para lelaki itu (eits, dikasih
kesempatan untuk duduk maksudnya). Saya masih sehat, cuma lelah aja, dan saya
yakin kok kalau nyaris semua penumpang yang ada dalam minibus itu juga lelah.
Tapi kalau ini terjadi sama ibu hamil? Saya pernah lho, pas pulang kuliah (abis
maghrib juga), naik minibus dengan nomor trayek yang sama, dengan kuantitas
penumpang yang juga nyaris sama (sampe miring deh itu minibusnya), dan di
dalamnyaada ibu yang hamil yang tidak mendapat tempat duduk. Beliau berdiri,
sodara – sodara. *hadooooh.. Eh, ibu itu hamilnya udah besar. Sekitar 7 atau 8
bulan mungkin. Dan lucunya (lebih tepat disebut miris sebenarnya), tidak ada
satu orang pun yang mau merelakan tempat duduknya untuk si ibu itu. Padahal ibu
yang hamil itu berdirinya di dekat jajaran kursi belakang, dan 3 dari 5 kursi
yang ada di jajaran itu diduduki oleh laki-laki (yang menurut subjektifitas
saya masih lebih kuat dibanding ibu hamil itu untuk berdiri sampai tujuan akhir).
Aaarrrgghhhh....!!!! rasanya pengen banget jitak para lelaki yang duduk di
jajaran belakang itu. Bikin emosi jiwa. >:(
Nah, mungkin dari sekian banyak orang yang baca
tulisan ini ada yang bertanya dalam hati “kenapa nggak lo aja yang ngasih
tempat duduk, ka?” oke saya jawab, “saya juga berdiri, saudaraku”.
***
Kemana perginya nurani? Apa sudah habis tergilas
rutinitas jakarta yang beringas? Lalu, kemana perginya peduli? Ah, kalau nurani
saja sudah tergilas habis, pasti peduli tak kan bisa lagi eksis. Bukan begitu?
Lantas, apa yang salah? Siapa yang salah? Ya, Saya
yang salah. Saya salah karena ketika itu saya tak punya cukup nyali untuk
sekedar bilang “maaf mas, mas kan masih muda, masih kuat, boleh ibu hamil ini
aja yang duduk?”
Ya, saya yang salah. Karena saya ketika itu
membiarkan nurani saya digempur rasa takut. Lucu. Saya merasa takut untuk
berbuat baik. Menggelikan. Hah..!! Saya jadi berpikir, “apa hal itu kini sudah
membudaya?” fakta yang tampak sih memang demikian. Kita terlalu takut untuk
berbuat baik. Kita terlalu takut untuk berkata jujur. Kenapa? Karena saat ini
berbuat baik dan jujur seringkali berhadiah sanksi.
Tak bisa di pungkiri apatisme kinimendera-dera.
Semakin menjadi-jadi. Mereka menjadi kaum dominan. Apatisme seperti virus yang
mengendap-endap menginfeksi seluruh penduduk jakarta. Tanpa sadar? Apa iya
tidak ada gejalanya? Sebenarnya ada, tapi tidak terlihat. Kita menjadi tidak
peka untuk melihat gejala- gejalanya karena pada faktanya lingkungan kita juga
telah menjadi apatis. Semua hanya sibuk ‘berlarian’ dijalan raya, tergesa, melesat,
mengejar matahari setiap hari.
Kini, kita tak lagi peka melihat sekitar. Kini,
kita tak lagi peduli akan kesulitan orang lain. Yang penting saya ga susah.
Yang penting saya bahagia. Mengenai orang lain? Yaa, urus diri masing-masing
aja. Bukan begitu?
Kini, sepertinya “peka” itu kini tinggal cerita,
dan peduli kini tak eksis lagi.
*pinggir timur jakarta, 11-10-11*
No comments:
Post a Comment