Friday, April 12, 2013

Menyerahlah


Orang-orang terdekat saya mungkin tahu persis tentang bagaimana saya mencintai matematika. Sebuah subject yang dibenci orang kebanyakan, saya malah mencintainya mati-matian. Semasa menempuh pendidikan di jenjang sekolah atas, adalah mimpi yang indah bisa menjadi sarjana jurusan matematika. Saya melakukan hal terbaik yang bisa saya lakukan untuk mewujudkannya. Saya belajar giat untuk menjaga nilai-nilai harian saya agar tetap baik. Kenapa? Supaya nanti mudah ketika saya ikut seleksi masuk perguruan tinggi jalur penelusuran minat. Saya pun berjuang lebih dari sekedar keras untuk mendapatkan nilai maksimum pada ujian akhir saya. Ini jujur, ketika itu saya baru berhenti mengerjakan latihan soal saat kepala saya sudah terasa sakit. Jika belum, saya akan terus mengerjakan soal-soal yang ada. Agak berlebihan memang, tapi begitulah jika saya sudah punya mau. I’ll do my best. Really my best.
Seleksi pertama yang saya ikuti adalah seleksi penelusuran minat. Dengan optimis saya menyerahkan salinan rapot untuk diproses oleh guru BK. Menurut logika, mestinya saya lolos seleksi karena rata-rata nilai saya berada di atas rata-rata nilai yang dijadikan syarat oleh jurusan impian saya itu. Tapi kenyataannya? Saya tidak lolos seleksi. Kecewa? Iya. Tapi saya pikir, saya masih punya 2 kesempatan lagi.
Seleksi kedua, seleksi uji tulis yang serentak dilakukan di seluruh Indonesia. Saya berusaha keras belajar. Lebih dari 2 pekan saya sakit sehingga saya harus ‘berhenti’ belajar. Saya harus mengejar ketertinggalan. Entah apa usaha saya bisa disebut sia-sia. Saya terpaksa kembali menelan kekecewaan. Saya gagal. Saya tidak diterima dijurusan manapun. Pahit? iya. Tapi harus ditelan.
Kesempatan terakhir. Saya bangkit lagi dari keterpurukan. Berjuang lagi supaya kali ini berhasil. Kali ini saya berusaha belajar lebih keras. Untuk seleksi yang terakhir ini, saya dituntut untuk memilih 2 jurusan dalam satu fakultas. Pilihan pertama, jelas matematika. Yang kedua? Nah ini..!! bingung..!! >.<
Setelah sedikit mempertimbangkan, akhirnya saya menuliskan jurusan kimia di opsi kedua. Kenapa? Simple jawabannya; main di lab kayaknya seru. Hihihi ngga berbobot banget ya alasannya. Anyway, pilihan jurusan sudah ditentukan, tapi jujur, saya hampir tidak memikirkan opsi kedua saya itu. Pikiran dan usaha saya fokus pada pilihan pertama. Jurusan matematika. :D
Hari pengumuman tiba, dan jeng jeeeeeeeeng... nama saya justru muncul di daftar mahasiswa yang diterima di jurusan kimia, bukan matematika. Jungkir balik saya belajar matematika, tapi malah masuk jurusan kimia itu rasanya ngga masuk akal.
 Ternyata, begitulah takdir. Rupanya Allah hendak memahamkan saya akan perkataanNya di surat Al An’am ayat 134:
“Sesungguhnya apapun yang dijanjikan kepadamu pasti datang dan kamu tidak akan mampu menolaknya.”
Sekuat apapun kita berusaha mendekat pada sesuatu yang kita ingini, jika memang tidak dijanjikan untuk kita, maka tidak akan pernah sampai. Sebaliknya, jika ‘disana’ telah tertulis hal tersebut untuk kita, sejauh apapun kita berusaha menghindar maka kita akan tetap dikembalikan untuk mendekat pada hal tersebut. Kita akan terus menerus diberi jalan untuk kembali.
***

Bertanggungjawablah atas segala keputusan yang telah kau ambil..!!
Semester pertama kuliah, semua masih aman terkendali. Semester kedua, ketidaksesuaian hati dan pikiran mulai berefek buruk. Indeks Prestasi yang nyata-nyata mampu dijadikan indikatornya. Mulut bisa dengan mudah bilang “saya enjoy kok di kimia”, tapi hati ngga bisa bohong “saya maunya kuliah matematika”.

“... tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan oleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al Baqarah: 216)

Base on that words, akhirnya saya putuskan berdamai dengan kenyataan. Berdamai dengan takdir. Mudah? Tidak. Saya berusaha sekuat tenaga mencintai keduanya dengan baik. Sampai akhirnya di semester ke tujuh, saya paham maksudNya.
Dipertengahkan semester ke tujuh, Allah memberi saya hadiah sebuah kondisi dimana saya mau tidak mau, suka tidak suka, kuat tidak kuat, harus menambah jam mengajar saya. Permintaan yang banyak muncul adalah “butuh guru matematika dan IPA”. Selama 3 tahun penuh Allah ‘memaksa’ saya mencintai keduanya (matematika dan kimia), dan beginilah maksudNya. Dengan kondisi butuh pekerjaan, kecintaan saya akan dua bidang tersebut tentu mempermudah. Mungkin, jika dulu Allah mengizinkan saya untuk kuliah di jurusan matematika, tentu tidak semudah ini saya memenuhi tuntutan hidup saya.

“...Allah Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Sesederhana itu. Tapi di dalamnya terkandung kemenyerahan yang teramat sangat. Di dalamnya kita mengakui bahwa kita tidak tahu apa-apa akan hari esok.
Lantas, apa kita tidak boleh berjuang? Bukan. Bukan itu yang saya maksud. Menyerah itu letaknya di akhir. Di awal, Berjuanglah sekuat tenagamu. Jika tiba waktu tak ada lagi daya yang bisa kau kerahkan, maka menyerahlah. Menyerah itu tak selalu buruk. Menyerahlah akan ketentuanNya. karena bisa jadi saat itu Ia tengah mempersiapkanmu untuk sebuah keadaan di masa depan yang kau tak tau akan bagaimana.

“... Allah Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Ya sesederhana itu. Tak perlulah kita jadi sok tahu.. karena Allah yang lebih tahu.. :)



*Timur Jakarta, 31.03.13, 19.00WIB

No comments:

Post a Comment