Orang-orang
terdekat saya mungkin tahu persis tentang bagaimana saya mencintai matematika.
Sebuah subject yang dibenci orang
kebanyakan, saya malah mencintainya mati-matian. Semasa menempuh pendidikan di
jenjang sekolah atas, adalah mimpi yang indah bisa menjadi sarjana jurusan
matematika. Saya melakukan hal terbaik yang bisa saya lakukan untuk
mewujudkannya. Saya belajar giat untuk menjaga nilai-nilai harian saya agar
tetap baik. Kenapa? Supaya nanti mudah ketika saya ikut seleksi masuk perguruan
tinggi jalur penelusuran minat. Saya pun berjuang lebih dari sekedar keras
untuk mendapatkan nilai maksimum pada ujian akhir saya. Ini jujur, ketika itu
saya baru berhenti mengerjakan latihan soal saat kepala saya sudah terasa
sakit. Jika belum, saya akan terus mengerjakan soal-soal yang ada. Agak
berlebihan memang, tapi begitulah jika saya sudah punya mau. I’ll do my best.
Really my best.
Seleksi pertama
yang saya ikuti adalah seleksi penelusuran minat. Dengan optimis saya
menyerahkan salinan rapot untuk diproses oleh guru BK. Menurut logika, mestinya
saya lolos seleksi karena rata-rata nilai saya berada di atas rata-rata nilai
yang dijadikan syarat oleh jurusan impian saya itu. Tapi kenyataannya? Saya
tidak lolos seleksi. Kecewa? Iya. Tapi saya pikir, saya masih punya 2
kesempatan lagi.
Seleksi kedua,
seleksi uji tulis yang serentak dilakukan di seluruh Indonesia. Saya berusaha
keras belajar. Lebih dari 2 pekan saya sakit sehingga saya harus ‘berhenti’
belajar. Saya harus mengejar ketertinggalan. Entah apa usaha saya bisa disebut
sia-sia. Saya terpaksa kembali menelan kekecewaan. Saya gagal. Saya tidak
diterima dijurusan manapun. Pahit? iya. Tapi harus ditelan.
Kesempatan
terakhir. Saya bangkit lagi dari keterpurukan. Berjuang lagi supaya kali ini
berhasil. Kali ini saya berusaha belajar lebih keras. Untuk seleksi yang
terakhir ini, saya dituntut untuk memilih 2 jurusan dalam satu fakultas.
Pilihan pertama, jelas matematika. Yang kedua? Nah ini..!! bingung..!!
>.<
Setelah sedikit
mempertimbangkan, akhirnya saya menuliskan jurusan kimia di opsi kedua. Kenapa?
Simple jawabannya; main di lab kayaknya
seru. Hihihi ngga berbobot banget ya alasannya. Anyway, pilihan jurusan
sudah ditentukan, tapi jujur, saya hampir tidak memikirkan opsi kedua saya itu.
Pikiran dan usaha saya fokus pada pilihan pertama. Jurusan matematika. :D
Hari pengumuman
tiba, dan jeng jeeeeeeeeng... nama saya justru muncul di daftar mahasiswa yang
diterima di jurusan kimia, bukan matematika. Jungkir balik saya belajar
matematika, tapi malah masuk jurusan kimia itu rasanya ngga masuk akal.
Ternyata, begitulah takdir. Rupanya Allah
hendak memahamkan saya akan perkataanNya di surat Al An’am ayat 134:
“Sesungguhnya apapun yang
dijanjikan kepadamu pasti datang dan kamu tidak akan mampu menolaknya.”
Sekuat apapun
kita berusaha mendekat pada sesuatu yang kita ingini, jika memang tidak
dijanjikan untuk kita, maka tidak akan pernah sampai. Sebaliknya, jika ‘disana’
telah tertulis hal tersebut untuk kita, sejauh apapun kita berusaha menghindar maka
kita akan tetap dikembalikan untuk mendekat pada hal tersebut. Kita akan terus
menerus diberi jalan untuk kembali.
***
Bertanggungjawablah atas segala keputusan yang telah kau ambil..!!
Semester
pertama kuliah, semua masih aman terkendali. Semester kedua, ketidaksesuaian
hati dan pikiran mulai berefek buruk. Indeks Prestasi yang nyata-nyata mampu
dijadikan indikatornya. Mulut bisa dengan mudah bilang “saya enjoy kok di
kimia”, tapi hati ngga bisa bohong “saya maunya kuliah matematika”.
“...
tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan
oleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia tidak baik bagimu. Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al Baqarah: 216)
Base on that
words, akhirnya saya putuskan berdamai dengan kenyataan. Berdamai dengan
takdir. Mudah? Tidak. Saya berusaha sekuat tenaga mencintai keduanya dengan
baik. Sampai akhirnya di semester ke tujuh, saya paham maksudNya.
Dipertengahkan
semester ke tujuh, Allah memberi saya hadiah sebuah kondisi dimana saya mau
tidak mau, suka tidak suka, kuat tidak kuat, harus menambah jam mengajar saya.
Permintaan yang banyak muncul adalah “butuh guru matematika dan IPA”. Selama 3
tahun penuh Allah ‘memaksa’ saya mencintai keduanya (matematika dan kimia), dan
beginilah maksudNya. Dengan kondisi butuh pekerjaan, kecintaan saya akan dua
bidang tersebut tentu mempermudah. Mungkin, jika dulu Allah mengizinkan saya
untuk kuliah di jurusan matematika, tentu tidak semudah ini saya memenuhi
tuntutan hidup saya.
“...Allah
Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Sesederhana
itu. Tapi di dalamnya terkandung kemenyerahan yang teramat sangat. Di dalamnya
kita mengakui bahwa kita tidak tahu apa-apa akan hari esok.
Lantas, apa
kita tidak boleh berjuang? Bukan. Bukan itu yang saya maksud. Menyerah itu
letaknya di akhir. Di awal, Berjuanglah sekuat tenagamu. Jika tiba waktu tak
ada lagi daya yang bisa kau kerahkan, maka menyerahlah. Menyerah itu tak selalu
buruk. Menyerahlah akan ketentuanNya. karena bisa jadi saat itu Ia tengah mempersiapkanmu
untuk sebuah keadaan di masa depan yang kau tak tau akan bagaimana.
“...
Allah Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Ya sesederhana
itu. Tak perlulah kita jadi sok tahu.. karena Allah yang lebih tahu.. :)
*Timur Jakarta, 31.03.13, 19.00WIB
No comments:
Post a Comment