Saturday, March 30, 2013

Bertahan Saja

saat kau temui badai dalam perjalananmu..
kuatkanlah hati untuk bertahan dan menghadapinya sekalipun kau harus mati..
karena ketika kau memutuskan untuk berbalik pulang, maka pada saat yang sama kau telah kehilangan satu-satunya kesempatan menemui keniscayaan yang manis..
keniscayaan akan hadirnya pelangi..

***
2010
Februari pagi, kudapati ibu yang pucat pasi di depan pintu.
“kamu mau kemana?”
“kampus. Ada apa sih? Pucet gitu?”
“bapak”
“bapak kenapa? Kambuh lagi sakit pinggangnya?”
“bapak dari subuh tadi ngga bisa bangun. Pinggangnya tambah parah. Shalat aja sambil tiduran. Ibu ngga mau tau pokoknya hari ini harus cek ke rumah sakit.”
Bapak, 48 tahun, Sudah hampir setahun mengeluhkan sakit dipinggangnya. Sudah berkali-kali ke dokter. Berkali-kali sembuh. Tapi juga berkali-kali kambuh. Slama setahun itu kami tak pernah tahu pasti apa yang terjadi pada pinggang bapak. Setiap diajak ke rumah sakit untuk pemeriksaan yang lebih serius, bapak selalu menolak dan bilang “ah, Cuma sakit pinggang. Wajar. Faktor umur.”
Saat itu, tak ada yang berpikir itu penyakit yang serius. Karena memang diantara kami berempat – bapak, ibu, saya, dan adik – bapaklah yang hidup dengan cara yang paling sehat. Paling teratur pola makan dan istirahatnya, kecuali ada hal yang mendesak. Paling rajin olah raga, paling memikirkan nutrisi yang masuk ke dalam tubuhnya. Ya, Cuma bapak yang seperti itu. Sepanjang hidupnya pun, sakit yang dideritanya tak pernah lebih parah dari pilek dan demam. Tapi pagi ini, saya yakin betul kalau bapak bukan menderita sakit pinggang biasa.
Akhirnya saya urung pergi kuliah. Mengingat kami bukan keluarga yang memiliki banyak kerabat dijakarta yang bisa dimintai tolong sewaktu-waktu dan ibu yang seringkali berkeberatan berurusan dengna “sistem”, jadilah saya sebagai sulung bertanggungjawab mengurus registrasi, administrasi, memilih dokter yang pas, sampai akhirnya bisa janjian dengan dokter tersebut.
Butuh waktu hampir 2 minggu untuk mendapati hasil diagnosis lengkap tentang penyakit yang bapak derita. Tes ini itu. Suntik ini itu. Rongent. MRI. Bahkan dokter yang menangani bapak ngga cuma satu. Ada tiga; dokter spesialis penyakit dalam, dokter paru, sama dokter syaraf. Ribet banget. asli. Rasanya bapak kayak pejabat karena ditangani beberapa dokter skaligus begitu.. Hehe :D Sepanjang proses diagnosis itu, bapak masih (terlihat) normal. Masih bisa bergerak dan berjalan seperti biasa. Hanya sesekali mengeluhkan ada “rasa aneh” disekujur kaki kanannya. Saya pun berusaha sewajar mungkin menanggapinya.
***
-di ruang dokter-
TBC tulang. Begitulah hasil diagnosanya. Dua ruas tulang belakang bapak diserang oleh mikobakteri tuberkolusa hingga membuatnya tersebut hancur, dan menyumbat syaraf utama. Dokter bilang, jika tidak segera ditangani, besar kemungkinan bapak akan mengalami kelumpuhan permanen karena syaraf utamanya tersumbat.

Kami pun baru menyadari bahwa badai benar-benar akan datang dalam kehidupan kami.

habis pikir rasanya. Bapak yang tidak pernah sakit parah. Bapak yang selalu rutin olah raga. Bapak yang paling memperhatikan setiap nutrisi yang masuk ke dalam tubuhnya. Bapak yang jadwal makannya selalu teratur. Bapak yang begitu aware dengan kebersihan. Bapak dengan pola hidup yang sebegitu sehat, nyata-nyata terserang penyakit TBC. Kau tau kawan, bahkan tidak ada sedikit pun tanda yang membuat kami berpikir ke arah sana. Mungkin semua orang tahu bahwa gejala paling umum yang ditampakan penderita penyakit tersebut adalah batuk. Ah, bapak tidak pernah menderita sakit batuk sejak dua tahun terakhir. Nafsu makan bapak pun baik. Berat badannya pun stabil. Bukan nyaris, tapi memang benar-benar tak ada tanda yang memaksa kami untuk berpikir ke arah sana.
Bahkan lebih dari itu. Dokter bilang bapak harus menjalani operasi pengangkatan dua ruas tulang belakang bapak yang hancur itu.
“Di angkat? Dua ruas tulang yang fungsinya begitu fital itu dokter bilang harus di angkat? Meski saya bukan dokter, sebagai anak IPA saya cukup tahu seberapa urgent keberadaan dua ruas tulang itu. Kalau tulang-tulang itu di angkat, lantas siapa atau apa yang akan menggantikan perannya? Minimal untuk dua fungsi utamanya; menopang tubuh, dan melindungi syaraf halus yang ada didalam rongganya.”, pikiran saya meracau tak terkendali.
Pen. Begitu jawab dokter seakan tau apa yang saya pikirkan. Dua ruas tulang itu nanti akan diganti dengan pen logam. Biaya operasi pemasangannya 60 – 70 juta. Itu hanya untuk operasinya saja. Belum termasuk biaya obat, ICU, dan biaya perawatan.
“What?? Diganti logam?? Dipikir bapak saya robot kali yah. Seenaknya aja mau ganti ruas tulang yang sebegitu penting pake logam. Trus bapak saya harus selamanya hidup dengan logam tertanam di punggungnya?? Biaya operasinya?? Bohong besar logam itu nanti tidak butuh perawatan berkala. Apa bisa selamanya dalam tubuh?? Apa iya suatu saat logam itu ngga perlu diganti?? Kalau perlu diganti, lantas punggung bapak saya dibedah lagi?? Lantas biayanya?? ”, racauan pikiran saya makin tak terkendali. Ya. Untung hanya dalam pikiran.
Kami bertiga keluar dari ruangan tanpa bicara. Kemudian terduduk di ruang tunggu. Masih tanpa bicara. Senyap dalam keramaian. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Akhirnya bapak yang bicara. Singkat tapi jelas.
“terserah kalian mau bawa bapak berobat kemana. Yang jelas bapak ngga mau di operasi”
Ibu, pun saya, cuma diam.
***
Baiklah. Kami memutuskan untuk berdamai dengan hati. Berdamai dengan takdir. Tak lagi memikirkan sebab, kami fokus pada solusi. Fokus pada proses penyembuhan.
Akhirnya kami memutuskan mengombinasikan pengobatan medis dengan pengobatan alternatif.
Pengobatan pertama yang kami tuju adalah pengobatan herbal dari malaysia. Lokasinya dikisaran bekasi.  Referensi dari seorang teman. Saat itu kondisi bapak justru semakin buruk dari hari ke hari. Nyeri luar biasa, begitu yang tergambar dari wajahnya saat berusaha berjalan. Meski terpapah. Meski tertatih. Meski nyeri. Bapak tetap berusaha berdiri, berjalan senormal mungkin. Bapak berusaha menolak sekuat tenaga tentang vonis kelumpuhan yang mungkin akan menjelang. Kelumpuhan yang mungkin akan mengubahnya dari hero menjadi zero.
***
Tiga bulan. Tak ada progress. Kami memutuskan untuk pindah pengobatan.
Terapi zikir di kisaran menteng. Ini pengobatan yang kedua, dan jujur, inilah fase paling berat bagi kami. Kenapa?
Pertama, kondisi bapak yang semakin buruk. Pada awal fase ini saja bapak sudah harus dibantu kruk saat berjalan. Itupun harus benar dijaga agar tidak jatuh. Kaki bapak makin tidak bisa dikendalikan oleh otaknya kala itu. Penyumbatan benar – benar membuat organ tubuh bapak tak lagi berfungsi baik dari batas pinggang ke bawah.
Kedua, pengobatan ini mengharuskan pasiennya datang setiap hari. Mengingat kondisinya, bapak jelas tidak bisa pergi terapi sendirian. Ibu? Sejak bapak sakit, ibu harus fokus mencari nafkah. Karena kami harus makan, hidup kami harus berjalan. Adik saya? Saat kami berangkat terapi, ia selalu belum pulang sekolah. Akhirnya, saya yang berusaha menemani bapak setiap hari. nah, jadilah saya, si kupu-kupu. Kuliah – pulang – kuliah – pulang. Menghilang sama sekali dari orbit kampus. Memaksa diri melupakan asiknya menikmati rapat ini itu. Jadi panitia acara ini itu. Ya, sama sekali tak ada tempat.
Ketiga, masalah biaya. Cakung – menteng memang bukan jarak yang terlalu jauh. Tapi mengingat kami tidak punya mobil, maka kami harus menempuhnya setiap hari dengan taksi. Tentu butuh biaya bukan? Belum lagi biaya terapinya. Jika ditambah dengan biaya terapi, maka setiap hari kami tak kurang harus menyiapkan 350ribu rupiah. Setiap hari. Tanpa jeda. Mudah mungkin bagi keluarga yang berkecukupan. Tapi bagi kami? Saat itu yang kami tahu hanya “Tuhan kami Maha Kaya”.
Saat ini, saya selalu tersenyum sendiri kala melewati ruas jalan pramuka. Ruas jalan yang kala itu terpaksa jadi saksi bagaimana saya menyembunyikan tangis kebingungan akan hari esok. Sungguh, 350ribu disetiap harinya, sama sekali bukan perkara yang mudah bagi saya.
Kawan, pada fase pengobatan yang kedua ini saya “dipaksa” BELAJAR tentang arti kata sulung dengan segala tanggung jawabnya. saya jadi sedikit tahu rasanya bagaimana jadi orang tua. Tentang hebatnya jadi ayah.
Entah kenapa sejak dulu saya punya kebiasaan meracau sendiri dalam hati ketika dalam kendaraan. Tak peduli perjalanan dari atau hendak kemana. Selalu begitu. Sepanjang perjalanan saya sering memikirkan banyak hal. Menyimpulkan banyak fragmen. Dan baru pada fase ini, yang saya pikirkan dalam setiap perjalanan saya adalah tentang cukupkah uang saya untuk membayar SPP adik saya bulan ini, terapi bapak esok hari, biaya kontrakan dan listrik bulan ini, biaya kuliah saya di awal semester nanti. Kalian tahu? Memikirkan hal-hal itu sensasinya luar biasa..
Dan baru pada fase ini pula saya hanya dihadapkan pada dua pilihan. cari uang atau benamkan dalam-dalam saja keinginan untuk jadi sarjana.
***

Kondisi bapak makin buruk dari hari ke hari. Di bulan yang ke 5 sejak vonis dokter, bapak benar-benar mengalami kelumpuhan. Ya, segala organ dari batas pinggang ke bwah tak lagi bisa digerakkan. Segala aktivitasnya dilakukan diatas tempat tidur. Ah, perihnya luar biasa.
Bapak yang selama ini selalu jadi superhero di rumah kami, sekarang, duduk saja tak mampu. bahkan untuk memiringkan tubuhnya harus dibantu.
Hampir habis asa kala itu. Bahkan, saya memutuskan untuk mempersiapkan diri ketika saya harus benar-benar kehilangan bapak. Ya. Saya mempersiapkan diri akan itu. Bukan karena pesimis. Saya hanya tidak mau terlalu terpuruk nanti ketika kemungkinan itu benar-benar terjadi.
***
  
4 bulan menjalani terapi zikir di menteng. Tak ada progress. Justru semakin memburuk. Ah..

saat kau temui badai dalam perjalananmu..
kuatkanlah hati untuk bertahan dan menghadapinya sekalipun kau harus mati..
karena ketika kau memutuskan untuk berbalik pulang, maka pada saat yang sama kau telah kehilangan satu-satunya kesempatan menemui keniscayaan yang manis..
keniscayaan akan hadirnya pelangi..

kalimat itu. Ya kalimat itu yang selalu saya rapal untuk menguatkan hati saat ia merajuk-rajuk meminta menyerah.. kalimat yang saya sendiri tidak tahu saya dapat dari mana..
***

Tempat terapi ketiga. Terapi tulang di daerah Balaraja, Banten. Selama sebulan penuh ibu dan bapak tinggal disana untuk menghemat biaya perjalanan. Saya dan adik, hanya berdua di jakarta. Bertahan hidup berdua.
Kawan, pada fase ini saya begitu “dipaksa” untuk belajar tentang peran seorang ibu dan ayah sekaligus. Tanpa bapak dan ibu dirumah, maka sebagai sulung, saya –mau tidak mau– yang menjadi nahkodanya. Mengatur semuanya.
Pada akhirnya, pengobatan ketiga tak juga memberikan progress. Ibu dan bapak memutuskan untuk kembali pulang. Setelah dipikirkan, ibu baiknya tetap dijakarta. Karena jika ibu disana, maka ibu harus berhenti berjualan. Dan itu berarti pemasukan keluarga akan berkurang.
***

Pernah dengan tentang teori kepuasan? Hmm teori gossen kalau tidak salah.

Lelah, tak akan lagi terasa lelah ketika sudah berkali-kali.
Sakit, tak lagi terasa sakit saat sudah terlalu bertubi-tubi.

Yah, mungkin begitu kami (saya dan ibu, Red.) menerapkannya. Kami sudah mati rasa dengan rasa lelah. Jika harapan dalam hati kami akan kesembuhan bapak sudah hilang, maka sempurnalah kami berdua seperti robot. Nyaris mati rasa. Hanya berusaha bergerak menjalani apa yang ada.
***
Pengobatan keempat, terapi akupuntur - rawamangun.
Pasrah sepasrah – pasrahnya. Begitulah kami memulainya. Karena sungguh, yang kami punya hanya harapan. Cuma itu.
3 bulan. Tak juga ada kemajuan. Tapi bapak bersikukuh untuk melanjutkan pengobatan disana. Memasuki bulan keempat, bapak mendadak heboh karena –akhirnya– jari kakinya bisa digerakkan. Hanya jari kaki, kawan. Gerakannya pun gerakan halus. Haluuuuuus sekali. Tapi sungguh, itu kabar yang luar biasa menyenangkan untuk kami. Menjadi luar biasa karena selama 8 bulan yang kami dapati hanya kondisi bapak yang makin memburuk.
Kau tahu, kemajuan kecil itu ternyata menjadi suntikan semangat yang luar biasa untuk kami. Untuk bapak khususnya. Pintu menuju kesembuhan seakan sudah terlihat, meski belum terbuka.
Kian hari, Alhamdulillah, kemajuan bapak semakin pesat. Layaknya balita, bapak belajar duduk sendiri tanpa penopang, belajar merangkak, belajar berdiri, juga belajar berjalan. Prosesnya persis seperti balita. Tertatih. Merambat – rambat. Menyenangkan. J
***

Alhamdulillah
Hari ini bapak sudah sembuh..
Bisa berjalan seperti sediakala (meski kadang msih suka oleng.. hehe :P).
***

Badai ini yang luar biasa, kawan..
Setidaknya bagiku..
Badai ini yang mengajari saya tentang makna kata sulung berikut segala tanggung jawabnya..
Badai ini yang membuka mata saya bahwa Tuhan begitu dekat, begitu Pencinta, begitu Baik.
Badai ini yang mengajari saya tentang cara menyembunyikan tangis..
Bahkan membuat saya jadi sulit menangis..

Badai ini pula yang membuat saya akrab dengan lelah..
Badai ini yang membuat saya belajar sedalam-dalamnya tentang makna pasrah..
pasrah yang paling pasrah..
Badai ini yang tanpa sengaja mendidik saya menjadi insomnia..
memaksa saya mencecap –sebentar– rasanya jadi ibu, jadi ayah..
menuntut saya menjadi tulang punggung yang kuat..
memaksa saya terampil menutup telinga dari komentar yang melemahkan.. 

ah, meski benci, badai ini pula yang memaksa saya menjadi guru yang matrealistis. Memilih murid berdasarkan besarnya bayaran. Terserah orang mau bilang apa. Bagaimanapun, bapak harus tetap terapi, saya harus tetap kuliah, adik saya tetap harus sekolah, kami harus tetap punya tempat tinggal dan kami harus tetap hidup. Dan kesemuanya itu butuh biaya yang tidak sedikit sementara penghasilan ibu jauh dari cukup untuk memenuhi itu semua.
Kawan, Badai ini pula yang akhirnya membantu saya melihat mana teman yang baik, dan mana teman yang baik sekali. ;)
Mana yang bisa dan mau jadi penopang, dan mana yang justru hanya melemahkan.

Ya, akhirnya badai kami telah usai, kawan.
Badai kami sudah berlalu..
Ya, Karena dua tahun lalu kami memutuskan untuk bertahan, maka hari ini kami diberi kesempatan untuk melihat pelangi. :)


-Epilog-
Yang saya yakini, Tuhan tengah menyiapkan saya akan sebuah kondisi didepan sana hingga Ia sebegininya mendidik saya. Entah kondisi macam apa itu. 



*Jakarta, 5 Januari 2012

No comments:

Post a Comment