Sunday, March 31, 2013

Apatism Syndrome


Langit sudah berganti layar. Saat itu gelap. Dan pada detik itu saya masih terduduk di halte depan kampus. Sedang apa? Sedang menunggu sahabat baik untuk pulang bersama. Yaaa barangkali ada cerita bermakna yang bisa kami bagi nanti.
Tak lama setelah ia tiba, minibus yang akan membawa kami pulang pun tiba. Sebenarnya kami enggan ikut. Terlalu sesak untuk tubuh kami yang sudah terlalu penat. Tapi apa daya. Akhirnya kami ikut juga. ya sudahlah. Dari pada lebih lama jadi santapan para nyamuk di halte tadi. Berdoa saja semoga di perempatan depan sana akan banyak penumpang yang turun, jadi kami bisa duduk.
Ah, ternyata salah keputusan kami untuk naik dari pintu belakang. Kenapa? Karena semua penumpang di jajaran kursi belakang adalah kaum lelaki. Huhuhu..  #syerem >.<  Tapi positif thinking saja lah. Siapa tau ada dari mas-mas atau bapak-bapak itu yang mau merelakan tempat duduknya untuk kami (perempuan, Red.). Kayak yang di novel ayat-ayat cinta gitu. Mengalah untuk perempuan.. #tsaaah :D

Dan selanjutnya, fakta yang terjadi adalaaaaah...
Perempatan pertama: macet, Kami berdiri.
Perempatan kedua: macet juga, Kami masih berdiri.
(Menjelang) perempatan ketiga: macet sudah berlalu, minibus kami ngebut banget, Kami juga masih berdiri. Bedanya kali ini kami berdiri sambil terpelanting  kesana kemari.
Menuju perempatan ke empat, kami sudah putus harapan. Kami putus harapan akan ada 2 dari kelima lelaki itu yang mau merelakan tempat duduknya untuk kami. #nasip -____-‘

*Rawamangun-pondok kopi, 21 sept 2011.

***
Dari pengalaman itu saya jadi bertanya dalam hati “peduli itu sekarang sedang pergi kemana ya?” “kenapa sekarang ini lebih banyak orang yang apatis daripada orang yang sensitif terhadap derita orang lain?”
Bukan. Bukan saya menganggap bahwa berdiri di dalam minibus di sepanjang perjalanan pulang itu adalah sebuah derita. Cuma satu jam kok. Yaa, mungkin akan jadi sebuah derita kalau saya berdirinya di atap minibusnya. #eh *horor :D
Pada dasarnya pengalaman sore tadi hanya menjadi pemicu bagi saya untuk menuliskan hal ini. Sekarang okelah kalau saya tidak mendapat perlakuan istimewa sebagai perempuan dari para lelaki itu (eits, dikasih kesempatan untuk duduk maksudnya). Saya masih sehat, cuma lelah aja, dan saya yakin kok kalau nyaris semua penumpang yang ada dalam minibus itu juga lelah. Tapi kalau ini terjadi sama ibu hamil? Saya pernah lho, pas pulang kuliah (abis maghrib juga), naik minibus dengan nomor trayek yang sama, dengan kuantitas penumpang yang juga nyaris sama (sampe miring deh itu minibusnya), dan di dalamnyaada ibu yang hamil yang tidak mendapat tempat duduk. Beliau berdiri, sodara – sodara. *hadooooh.. Eh, ibu itu hamilnya udah besar. Sekitar 7 atau 8 bulan mungkin. Dan lucunya (lebih tepat disebut miris sebenarnya), tidak ada satu orang pun yang mau merelakan tempat duduknya untuk si ibu itu. Padahal ibu yang hamil itu berdirinya di dekat jajaran kursi belakang, dan 3 dari 5 kursi yang ada di jajaran itu diduduki oleh laki-laki (yang menurut subjektifitas saya masih lebih kuat dibanding ibu hamil itu untuk berdiri sampai tujuan akhir). Aaarrrgghhhh....!!!! rasanya pengen banget jitak para lelaki yang duduk di jajaran belakang itu. Bikin emosi jiwa. >:(
Nah, mungkin dari sekian banyak orang yang baca tulisan ini ada yang bertanya dalam hati “kenapa nggak lo aja yang ngasih tempat duduk, ka?” oke saya jawab, “saya juga berdiri, saudaraku”.
***
Kemana perginya nurani? Apa sudah habis tergilas rutinitas jakarta yang beringas? Lalu, kemana perginya peduli? Ah, kalau nurani saja sudah tergilas habis, pasti peduli tak kan bisa lagi eksis. Bukan begitu?
Lantas, apa yang salah? Siapa yang salah? Ya, Saya yang salah. Saya salah karena ketika itu saya tak punya cukup nyali untuk sekedar bilang “maaf mas, mas kan masih muda, masih kuat, boleh ibu hamil ini aja yang duduk?”
Ya, saya yang salah. Karena saya ketika itu membiarkan nurani saya digempur rasa takut. Lucu. Saya merasa takut untuk berbuat baik. Menggelikan. Hah..!! Saya jadi berpikir, “apa hal itu kini sudah membudaya?” fakta yang tampak sih memang demikian. Kita terlalu takut untuk berbuat baik. Kita terlalu takut untuk berkata jujur. Kenapa? Karena saat ini berbuat baik dan jujur seringkali berhadiah sanksi.
Tak bisa di pungkiri apatisme kinimendera-dera. Semakin menjadi-jadi. Mereka menjadi kaum dominan. Apatisme seperti virus yang mengendap-endap menginfeksi seluruh penduduk jakarta. Tanpa sadar? Apa iya tidak ada gejalanya? Sebenarnya ada, tapi tidak terlihat. Kita menjadi tidak peka untuk melihat gejala- gejalanya karena pada faktanya lingkungan kita juga telah menjadi apatis. Semua hanya sibuk ‘berlarian’ dijalan raya, tergesa, melesat, mengejar matahari setiap hari.
Kini, kita tak lagi peka melihat sekitar. Kini, kita tak lagi peduli akan kesulitan orang lain. Yang penting saya ga susah. Yang penting saya bahagia. Mengenai orang lain? Yaa, urus diri masing-masing aja. Bukan begitu?
Kini, sepertinya “peka” itu kini tinggal cerita, dan peduli kini tak eksis lagi.

*pinggir timur jakarta, 11-10-11*

Saturday, March 30, 2013

Berdakwah, buat apa?


Senin, 4 juli 2011 08:25:23 pm, ponsel saya bergetar. Dilayar tertera tulisan

1 new message
44.yulia
08:25 pm

Saya pun kemudian menekan tombol view, dan beginilah isi pesan yang saya terima

“kak, kenapa ya kita harus berada dijalan dakwah? Kenapa gak kayak temen-temen yg lain? Belajar serius, main, pacaran, jalan-jalan..”

Yulia adalah adik kelas saya (pengurus rohis di SMA almamater saya).  Ia hanya seorang muda, muda sekali, usianya pun belum genap 17 tahun, tapi kalian pasti gak tau, ia punya semangat luar biasa dalam memajukan ekskul rohis di sekolahnya (sekolah kami). Semangatnya yang seringkali mampu menyemngati saya saat sedang lemah.
Senyum. Itu respon pertama saya setelah membaca isi pesan tersebut. Maha Suci Allah yang telah menggerakan hati adik saya ini untuk bertanya kepada kakaknya tentang kenapa ia harus berdakwah, tentang kenapa ia harus berbeda dari yang lain. Sungguh saya bersyukur, karena ia masih mau bertanya atas keraguan hatinya, bukan mengambil kesimpulan sendiri atas pemikirannya. Yaa walaupun yang ditanya juga ga tau2 amat.. hehehe ;p

***

Kenapa sih kita harus berdakwah?

"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung."
(Al-‘Imran : 104)

Ada yang gak percaya sama isi al qur’an? Nah ayat diatas sudah dengan sangat jelasnya meminta sebagian diantara kita ada segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan.. dan dalam ayat tersebut Allah menyebut orang-orang yang masuk kedalam golongan tersebut adalah orang yang beruntung.. wew.. asyiiik kaan??
Kawan, sadarkah kita akan begitu banyak kemaksiatan yang sekarang dilakukan secara terang-terangan.. makin hari makin parah.. Pernah seorang shalihah ditanya “mba, kenapa mba mau capek-capek melakukan hal ini(berdakwah)?”, dan mba yang shalihah itu pun menjawab “selain karena Allah, saya hanya mau menyiapkan lingkungan yang baik untuk anak-anak saya kelak”.. Hmm waktu mendengar tentang percakapan ini saya agak bingung, apa hubungannya dakwah sama menyiapkan lingkungan yang baik untuk anak-anaknya?? Lagian, mba yang ditanya itu kan masih muda, belum juga nikah, apalagi punya anak. Tapi setelah saya pikir-pikir, ternyata benar juga. Sekarang aja wanita-wanita muslim bisa dengan bangganya berpakaian super mini dihadapan umum, apalagi nanti zaman anak cucu kita? Sekarang aja yang namanya zina sudah jadi hal yang biasa dillakukan, apalagi nanti zaman anak cucu kita? Oh my.. ngeri banget ngebayanginnya..

Abu Said Al Khudry meriwayatkan, bahwa beliau berkata, “Saya mendengar Rasulullah bersabda, ‘Barangisapa di antara kalian melihat kemungkaran maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya, kalau ia tidak sanggup hendaklah ia mngubah dengan mulutnya, kalau ia masih tidak sanggup maka hendaklah ia mengingkarinya dengan hatinya, yang sedemikian ia adalah selemah-lemah iman’ “ (HR Muslim)

Dalam hadist lain beliau bersabda,
“Dari Abdullah bin Amru bin ‘ Ash, Rasulullah bersabda, ‘Sampaikan oleh kalian dariku walaupun hanya satu ayat….” ‘ (HR Bukhari)

Nah lho.. sudah berhasil mengingkari dengan hati ketika ada kemaksiatan aja masih dibilang “imannya lemah”, trs klo yang gak peduli atau yang yang justru menyeru kepada kemaksiatan gimana dong?? Imannya disebut apa?? _semoga Allah mengampuni_
Kesimpulannya, dari dalil dalil di atas menunjukkan, bahwa aktivitas dakwah (Amar Ma’rif nahi mungkar) adalah kewajiban setiap muslim dan muslimah sesuai dengan kondisi dan posisi masing-masing. Semuanya akan mendapat balasan dari Allah berdasarkan amal yang dikerjakan.

Apa yang membuatmu berpikir kau bukan pengemban dakwah?
Kadang saya berpikir, mengapa saya harus berletih-letih menjadi aktivis dakwah? Kenapa saya yang harus melakukan tugas ini? Mengapa saya harus saya yang harus memikirkan kelangsungan dakwah. Mengapa tidak kalian saja? Bukankah kita sama? Kau ingin prestasi akupun demikian. Lalu mengapa aku yang harus disini, Kenapa tidak kalian ?  Jika jawabannya karena kalian tidak tahu dan tidak mengerti, bukankah sudah kuberitahu dan kuberi pengertian, tetapi kenapa kalian masih enggan untuk hadir di sini? Apa yang membuatmu berpikir bahwa kau bukanlah pengemban dakwah? Kita sama-sama muslim, kita diberi potensi yang sama oleh Allah , bahkan kadang aku berpikir, jika kau mau berdakwah, akan lebih banyak hal yang bisa kau lakukan sebab kau begitu berkualitas, kau memiliki segala apa yang diinginkan setiap orang dan dengan itu orang akan lebih mudah untuk diajak. Apa yang membuatmu berpikir kau bebas dari tanggung jawab berdakwah?
Ini soal pilihan. Ya soal pilihan. Kita punya waktu yang sama dalam satu hari. Tapi hasil yang akan diperoleh masing-masing dari kita tentu berbeda. Bergantung dari usaha kita masing-masing.

“Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Allah akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”
[Muhammad:7]

“jika Allah menolong kamu, maka tidak ada yang dapat mengalahkanmu, tetapi jika Allah membiarkanmu (tidak memberi pertolongan), maka siapa yang dapat menolongmu setelah itu? Karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang beriman bertawakal.”
[Ali Imran: 160]

Hmm.. kalo bukan Allah, lantas siapa yang bisa menolong kita?? Hadeuuuh.. skakmat klo udah dihadapkan sama 2 ayat itu.. nyerah deh untuk berargumen.. saya lemah, dan cuma Allah yang bisa nolong saya, kalo mau ditolong sama Allah maka harus menolong agama Allah dulu. Titik.


Selasa, 5 juli 2011, 09:51 pm
_Pinggir timur jakarta_

Jangan Ganjeeen dan Jangan Mau Diganjenin,, :p


Entah ada syndrom apa belakangan ini.. syndrome “bulan janur kuning” kali yah.. pembahasan sekitar gak jauh-jauh dari undangan, kondangan, menikah, cinta, suka, dan kawan-kawannya.. agak jengah sih, tapi klo dipikir lagi, mungkin ini saatnya belajar tentang “beginian”.. hohoho
Well, inspirasi tulisan ini bermula saat adik tingkat saya curhat perkara hatinya yg tengah gundah gulana karena hal “begituan”.. banyak dari kita (mungkin saya pun termasuk) yang berpikir klo ngomongin “beginian” itu gak penting untuk saat ini. Masih banyak kalii hal (yg katanya lebih penting) yang harus dipikirin.. tapi pas dipikir2 lagi, ternyata banyak orang-orang hebat yang hancur karena masalah beginian.. hmm.. na’udzubillah.. karena itu saya jadi tertarik untuk sedikit mengulik tentang perkara yang satu ini.
***

Berdosakah aku mencintaimu?
#tsaaaaah, sub-judulnye mellow amat..

nggak ada yang dapat menghalangi kita untuk mencintai seseorang. Kadang secara nggak sadar perasaan itu tiba-tiba aja muncul. Lantas apa itu aib? Dosa gak? Perlu dimusnahkan? Menurut sumber yg saya baca, selama nggak melanggar syariat, maka nggak perlu khawatir..
Dalam islam, nggak ada tuh larangan atau ancaman yang mengatakan “janganlah jatuh cinta, sesungguhnya jatuh cinta itu perbuatan keji dan mungkar” atau “jatuh cinta akan mendatangkan azab yang pedih di akhirat”. Nggak ada kan? Kalaupun ada yang mendatangkan azab, itu adalah cinta yg terkontaminasi oleh nafsu syaitan.. so, jatuh cinta gpp kok, asal nggak melanggar syariat.

belajar dari kisah Ali dan Fatimah
“Wahai suamiku, sebelum menikah denganmu, aku pernah sangat menyukai seorang laki-laki dan aku sangat ingin menikah dengannya.”, kata fatimah. Deg! Ali pun tersentak kaget. Rona wajah berubah. Warna itu warna kaget campur cemburu campur marah campur kesel campur penasaran. Kebayang kayak apa warnanya?? Kebayang dong yaa :D
Dengan penuh kesabaran, dan ketenangan, Ali bertanya lembut, “apakah engkau menyesal menikah denganku?”
“oh, tidak”, jawab fatimah sambil mesam-mesem (*senyam-senyum).. “kau tau suamiku, laki-laki itu adalah engkau”.
*hayaaaah.. yg senyam-senyum hayoo ngacung..

Katanya nih Sebelum menikah Ali dan Fatimah menyimpan rahasia hati. Dua remaja yang diasuh dan dibesarkan dalam ranah kelurga kenabian ini tumbuh semakin dewasa. Ali dengan sifat kelaki-lakiannya kian hari kian matang. Piawai. Pemberani . ceria juga. Pun fatimah. Kian hari kian sempurna sifat keanitaannya. Ia shalihah, cerdas, ramah, dan sopan.Mereka saling simpati dan mencintai satu sama lain. Cinta mereka adalah cinta yang bersih, suci, dan jernih tanpa kontaminasi nafsu, syahwat, dan kawan-kawannya.
Cinta mereka adalah cinta yang keputusannya diserahkan hanya kepada Allah. Cinta yg rapat dan sangat rahasia. Rahasia sekali. Saking rahasianya, bahkan setan pun nggak tau kalau mereka saling mencintai. Hmmm.. keren amat yaaa.. setan aja nggak tauu..
Nah, gimana? Terinpirasi sesuatu kah dari kisah diatas? Sudah dapat kesimpulannya? Blm? Oke, biar ik bantu. Menurut ik, kesimpulannya adalah ketika kita jatuh cinta maka biar aku dan Tuhan kita saja yang tahu (sampai datang waktu yang tepat).. gmn? sepakat? :)

Dengan mengingat Allah hati menjadi tenang

... ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram.”
[Q.S. Ar Ra’d : 28]

Yakinlah bahwa Allah mempunyai rencana tersendiri. Bukankah setiap manusia telah ditentukan garis takdirnya? Hidup, mati, rezeki, jodoh, bahagia, celaka, semuanya sudah diatur oleh Allah.

Rasulullah bersabda, “ Allah SWT turun ke langit dunia ketika sepertiga malam yang pertama telah berlalu. Dia berkata ‘Akulah raja, siapa yang berdoa kepadaKu, Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku, Aku beri. Siapa yang meminta ampun pada-Ku, Aku ampuni.’ Dia terus berkata demikian hingga sinar fajar merekah.”
[H.R. Muslim]

Maha Suci Allah yang begitu mencintai makhlukNya. Mintalah padaNya. Bukankah Dia tak pernah ingkar janji??

Yang baik untuk yang baik pula
Ada sebuah nasihat “jangan mengharapkan pasangan hidup yang baik jika kita tak pernah berusaha untuk memperbaiki diri. Jangan kira Allah akan memberikan pasangan hidup yang yang suci jika kita sendiri tidak berusaha menyucikan diri.”
Jikamengharapkan yang baik, tentu kita pun harus baik. Hal ini berlaku baik untuk laki-laki pun perempuan.
“wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk wanita-anita yang keji (pula), dan wanita-anita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik (pula)
[Q.S. An Nuur : 26]

So, guys.. yukk kita jaga diri dan hati kita baik-baik.. jangan bermaksiat, dan jangan membuat orang lain bermaksian kaena kita.. maksudnya?? Hmm bahasa gampangnya jangan ganjeeen dan jangan mau diganjenin.. okeh ;)


5 juli 2011 23:43 pm
_pinggir timur jakarta_

Bertahan Saja

saat kau temui badai dalam perjalananmu..
kuatkanlah hati untuk bertahan dan menghadapinya sekalipun kau harus mati..
karena ketika kau memutuskan untuk berbalik pulang, maka pada saat yang sama kau telah kehilangan satu-satunya kesempatan menemui keniscayaan yang manis..
keniscayaan akan hadirnya pelangi..

***
2010
Februari pagi, kudapati ibu yang pucat pasi di depan pintu.
“kamu mau kemana?”
“kampus. Ada apa sih? Pucet gitu?”
“bapak”
“bapak kenapa? Kambuh lagi sakit pinggangnya?”
“bapak dari subuh tadi ngga bisa bangun. Pinggangnya tambah parah. Shalat aja sambil tiduran. Ibu ngga mau tau pokoknya hari ini harus cek ke rumah sakit.”
Bapak, 48 tahun, Sudah hampir setahun mengeluhkan sakit dipinggangnya. Sudah berkali-kali ke dokter. Berkali-kali sembuh. Tapi juga berkali-kali kambuh. Slama setahun itu kami tak pernah tahu pasti apa yang terjadi pada pinggang bapak. Setiap diajak ke rumah sakit untuk pemeriksaan yang lebih serius, bapak selalu menolak dan bilang “ah, Cuma sakit pinggang. Wajar. Faktor umur.”
Saat itu, tak ada yang berpikir itu penyakit yang serius. Karena memang diantara kami berempat – bapak, ibu, saya, dan adik – bapaklah yang hidup dengan cara yang paling sehat. Paling teratur pola makan dan istirahatnya, kecuali ada hal yang mendesak. Paling rajin olah raga, paling memikirkan nutrisi yang masuk ke dalam tubuhnya. Ya, Cuma bapak yang seperti itu. Sepanjang hidupnya pun, sakit yang dideritanya tak pernah lebih parah dari pilek dan demam. Tapi pagi ini, saya yakin betul kalau bapak bukan menderita sakit pinggang biasa.
Akhirnya saya urung pergi kuliah. Mengingat kami bukan keluarga yang memiliki banyak kerabat dijakarta yang bisa dimintai tolong sewaktu-waktu dan ibu yang seringkali berkeberatan berurusan dengna “sistem”, jadilah saya sebagai sulung bertanggungjawab mengurus registrasi, administrasi, memilih dokter yang pas, sampai akhirnya bisa janjian dengan dokter tersebut.
Butuh waktu hampir 2 minggu untuk mendapati hasil diagnosis lengkap tentang penyakit yang bapak derita. Tes ini itu. Suntik ini itu. Rongent. MRI. Bahkan dokter yang menangani bapak ngga cuma satu. Ada tiga; dokter spesialis penyakit dalam, dokter paru, sama dokter syaraf. Ribet banget. asli. Rasanya bapak kayak pejabat karena ditangani beberapa dokter skaligus begitu.. Hehe :D Sepanjang proses diagnosis itu, bapak masih (terlihat) normal. Masih bisa bergerak dan berjalan seperti biasa. Hanya sesekali mengeluhkan ada “rasa aneh” disekujur kaki kanannya. Saya pun berusaha sewajar mungkin menanggapinya.
***
-di ruang dokter-
TBC tulang. Begitulah hasil diagnosanya. Dua ruas tulang belakang bapak diserang oleh mikobakteri tuberkolusa hingga membuatnya tersebut hancur, dan menyumbat syaraf utama. Dokter bilang, jika tidak segera ditangani, besar kemungkinan bapak akan mengalami kelumpuhan permanen karena syaraf utamanya tersumbat.

Kami pun baru menyadari bahwa badai benar-benar akan datang dalam kehidupan kami.

habis pikir rasanya. Bapak yang tidak pernah sakit parah. Bapak yang selalu rutin olah raga. Bapak yang paling memperhatikan setiap nutrisi yang masuk ke dalam tubuhnya. Bapak yang jadwal makannya selalu teratur. Bapak yang begitu aware dengan kebersihan. Bapak dengan pola hidup yang sebegitu sehat, nyata-nyata terserang penyakit TBC. Kau tau kawan, bahkan tidak ada sedikit pun tanda yang membuat kami berpikir ke arah sana. Mungkin semua orang tahu bahwa gejala paling umum yang ditampakan penderita penyakit tersebut adalah batuk. Ah, bapak tidak pernah menderita sakit batuk sejak dua tahun terakhir. Nafsu makan bapak pun baik. Berat badannya pun stabil. Bukan nyaris, tapi memang benar-benar tak ada tanda yang memaksa kami untuk berpikir ke arah sana.
Bahkan lebih dari itu. Dokter bilang bapak harus menjalani operasi pengangkatan dua ruas tulang belakang bapak yang hancur itu.
“Di angkat? Dua ruas tulang yang fungsinya begitu fital itu dokter bilang harus di angkat? Meski saya bukan dokter, sebagai anak IPA saya cukup tahu seberapa urgent keberadaan dua ruas tulang itu. Kalau tulang-tulang itu di angkat, lantas siapa atau apa yang akan menggantikan perannya? Minimal untuk dua fungsi utamanya; menopang tubuh, dan melindungi syaraf halus yang ada didalam rongganya.”, pikiran saya meracau tak terkendali.
Pen. Begitu jawab dokter seakan tau apa yang saya pikirkan. Dua ruas tulang itu nanti akan diganti dengan pen logam. Biaya operasi pemasangannya 60 – 70 juta. Itu hanya untuk operasinya saja. Belum termasuk biaya obat, ICU, dan biaya perawatan.
“What?? Diganti logam?? Dipikir bapak saya robot kali yah. Seenaknya aja mau ganti ruas tulang yang sebegitu penting pake logam. Trus bapak saya harus selamanya hidup dengan logam tertanam di punggungnya?? Biaya operasinya?? Bohong besar logam itu nanti tidak butuh perawatan berkala. Apa bisa selamanya dalam tubuh?? Apa iya suatu saat logam itu ngga perlu diganti?? Kalau perlu diganti, lantas punggung bapak saya dibedah lagi?? Lantas biayanya?? ”, racauan pikiran saya makin tak terkendali. Ya. Untung hanya dalam pikiran.
Kami bertiga keluar dari ruangan tanpa bicara. Kemudian terduduk di ruang tunggu. Masih tanpa bicara. Senyap dalam keramaian. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Akhirnya bapak yang bicara. Singkat tapi jelas.
“terserah kalian mau bawa bapak berobat kemana. Yang jelas bapak ngga mau di operasi”
Ibu, pun saya, cuma diam.
***
Baiklah. Kami memutuskan untuk berdamai dengan hati. Berdamai dengan takdir. Tak lagi memikirkan sebab, kami fokus pada solusi. Fokus pada proses penyembuhan.
Akhirnya kami memutuskan mengombinasikan pengobatan medis dengan pengobatan alternatif.
Pengobatan pertama yang kami tuju adalah pengobatan herbal dari malaysia. Lokasinya dikisaran bekasi.  Referensi dari seorang teman. Saat itu kondisi bapak justru semakin buruk dari hari ke hari. Nyeri luar biasa, begitu yang tergambar dari wajahnya saat berusaha berjalan. Meski terpapah. Meski tertatih. Meski nyeri. Bapak tetap berusaha berdiri, berjalan senormal mungkin. Bapak berusaha menolak sekuat tenaga tentang vonis kelumpuhan yang mungkin akan menjelang. Kelumpuhan yang mungkin akan mengubahnya dari hero menjadi zero.
***
Tiga bulan. Tak ada progress. Kami memutuskan untuk pindah pengobatan.
Terapi zikir di kisaran menteng. Ini pengobatan yang kedua, dan jujur, inilah fase paling berat bagi kami. Kenapa?
Pertama, kondisi bapak yang semakin buruk. Pada awal fase ini saja bapak sudah harus dibantu kruk saat berjalan. Itupun harus benar dijaga agar tidak jatuh. Kaki bapak makin tidak bisa dikendalikan oleh otaknya kala itu. Penyumbatan benar – benar membuat organ tubuh bapak tak lagi berfungsi baik dari batas pinggang ke bawah.
Kedua, pengobatan ini mengharuskan pasiennya datang setiap hari. Mengingat kondisinya, bapak jelas tidak bisa pergi terapi sendirian. Ibu? Sejak bapak sakit, ibu harus fokus mencari nafkah. Karena kami harus makan, hidup kami harus berjalan. Adik saya? Saat kami berangkat terapi, ia selalu belum pulang sekolah. Akhirnya, saya yang berusaha menemani bapak setiap hari. nah, jadilah saya, si kupu-kupu. Kuliah – pulang – kuliah – pulang. Menghilang sama sekali dari orbit kampus. Memaksa diri melupakan asiknya menikmati rapat ini itu. Jadi panitia acara ini itu. Ya, sama sekali tak ada tempat.
Ketiga, masalah biaya. Cakung – menteng memang bukan jarak yang terlalu jauh. Tapi mengingat kami tidak punya mobil, maka kami harus menempuhnya setiap hari dengan taksi. Tentu butuh biaya bukan? Belum lagi biaya terapinya. Jika ditambah dengan biaya terapi, maka setiap hari kami tak kurang harus menyiapkan 350ribu rupiah. Setiap hari. Tanpa jeda. Mudah mungkin bagi keluarga yang berkecukupan. Tapi bagi kami? Saat itu yang kami tahu hanya “Tuhan kami Maha Kaya”.
Saat ini, saya selalu tersenyum sendiri kala melewati ruas jalan pramuka. Ruas jalan yang kala itu terpaksa jadi saksi bagaimana saya menyembunyikan tangis kebingungan akan hari esok. Sungguh, 350ribu disetiap harinya, sama sekali bukan perkara yang mudah bagi saya.
Kawan, pada fase pengobatan yang kedua ini saya “dipaksa” BELAJAR tentang arti kata sulung dengan segala tanggung jawabnya. saya jadi sedikit tahu rasanya bagaimana jadi orang tua. Tentang hebatnya jadi ayah.
Entah kenapa sejak dulu saya punya kebiasaan meracau sendiri dalam hati ketika dalam kendaraan. Tak peduli perjalanan dari atau hendak kemana. Selalu begitu. Sepanjang perjalanan saya sering memikirkan banyak hal. Menyimpulkan banyak fragmen. Dan baru pada fase ini, yang saya pikirkan dalam setiap perjalanan saya adalah tentang cukupkah uang saya untuk membayar SPP adik saya bulan ini, terapi bapak esok hari, biaya kontrakan dan listrik bulan ini, biaya kuliah saya di awal semester nanti. Kalian tahu? Memikirkan hal-hal itu sensasinya luar biasa..
Dan baru pada fase ini pula saya hanya dihadapkan pada dua pilihan. cari uang atau benamkan dalam-dalam saja keinginan untuk jadi sarjana.
***

Kondisi bapak makin buruk dari hari ke hari. Di bulan yang ke 5 sejak vonis dokter, bapak benar-benar mengalami kelumpuhan. Ya, segala organ dari batas pinggang ke bwah tak lagi bisa digerakkan. Segala aktivitasnya dilakukan diatas tempat tidur. Ah, perihnya luar biasa.
Bapak yang selama ini selalu jadi superhero di rumah kami, sekarang, duduk saja tak mampu. bahkan untuk memiringkan tubuhnya harus dibantu.
Hampir habis asa kala itu. Bahkan, saya memutuskan untuk mempersiapkan diri ketika saya harus benar-benar kehilangan bapak. Ya. Saya mempersiapkan diri akan itu. Bukan karena pesimis. Saya hanya tidak mau terlalu terpuruk nanti ketika kemungkinan itu benar-benar terjadi.
***
  
4 bulan menjalani terapi zikir di menteng. Tak ada progress. Justru semakin memburuk. Ah..

saat kau temui badai dalam perjalananmu..
kuatkanlah hati untuk bertahan dan menghadapinya sekalipun kau harus mati..
karena ketika kau memutuskan untuk berbalik pulang, maka pada saat yang sama kau telah kehilangan satu-satunya kesempatan menemui keniscayaan yang manis..
keniscayaan akan hadirnya pelangi..

kalimat itu. Ya kalimat itu yang selalu saya rapal untuk menguatkan hati saat ia merajuk-rajuk meminta menyerah.. kalimat yang saya sendiri tidak tahu saya dapat dari mana..
***

Tempat terapi ketiga. Terapi tulang di daerah Balaraja, Banten. Selama sebulan penuh ibu dan bapak tinggal disana untuk menghemat biaya perjalanan. Saya dan adik, hanya berdua di jakarta. Bertahan hidup berdua.
Kawan, pada fase ini saya begitu “dipaksa” untuk belajar tentang peran seorang ibu dan ayah sekaligus. Tanpa bapak dan ibu dirumah, maka sebagai sulung, saya –mau tidak mau– yang menjadi nahkodanya. Mengatur semuanya.
Pada akhirnya, pengobatan ketiga tak juga memberikan progress. Ibu dan bapak memutuskan untuk kembali pulang. Setelah dipikirkan, ibu baiknya tetap dijakarta. Karena jika ibu disana, maka ibu harus berhenti berjualan. Dan itu berarti pemasukan keluarga akan berkurang.
***

Pernah dengan tentang teori kepuasan? Hmm teori gossen kalau tidak salah.

Lelah, tak akan lagi terasa lelah ketika sudah berkali-kali.
Sakit, tak lagi terasa sakit saat sudah terlalu bertubi-tubi.

Yah, mungkin begitu kami (saya dan ibu, Red.) menerapkannya. Kami sudah mati rasa dengan rasa lelah. Jika harapan dalam hati kami akan kesembuhan bapak sudah hilang, maka sempurnalah kami berdua seperti robot. Nyaris mati rasa. Hanya berusaha bergerak menjalani apa yang ada.
***
Pengobatan keempat, terapi akupuntur - rawamangun.
Pasrah sepasrah – pasrahnya. Begitulah kami memulainya. Karena sungguh, yang kami punya hanya harapan. Cuma itu.
3 bulan. Tak juga ada kemajuan. Tapi bapak bersikukuh untuk melanjutkan pengobatan disana. Memasuki bulan keempat, bapak mendadak heboh karena –akhirnya– jari kakinya bisa digerakkan. Hanya jari kaki, kawan. Gerakannya pun gerakan halus. Haluuuuuus sekali. Tapi sungguh, itu kabar yang luar biasa menyenangkan untuk kami. Menjadi luar biasa karena selama 8 bulan yang kami dapati hanya kondisi bapak yang makin memburuk.
Kau tahu, kemajuan kecil itu ternyata menjadi suntikan semangat yang luar biasa untuk kami. Untuk bapak khususnya. Pintu menuju kesembuhan seakan sudah terlihat, meski belum terbuka.
Kian hari, Alhamdulillah, kemajuan bapak semakin pesat. Layaknya balita, bapak belajar duduk sendiri tanpa penopang, belajar merangkak, belajar berdiri, juga belajar berjalan. Prosesnya persis seperti balita. Tertatih. Merambat – rambat. Menyenangkan. J
***

Alhamdulillah
Hari ini bapak sudah sembuh..
Bisa berjalan seperti sediakala (meski kadang msih suka oleng.. hehe :P).
***

Badai ini yang luar biasa, kawan..
Setidaknya bagiku..
Badai ini yang mengajari saya tentang makna kata sulung berikut segala tanggung jawabnya..
Badai ini yang membuka mata saya bahwa Tuhan begitu dekat, begitu Pencinta, begitu Baik.
Badai ini yang mengajari saya tentang cara menyembunyikan tangis..
Bahkan membuat saya jadi sulit menangis..

Badai ini pula yang membuat saya akrab dengan lelah..
Badai ini yang membuat saya belajar sedalam-dalamnya tentang makna pasrah..
pasrah yang paling pasrah..
Badai ini yang tanpa sengaja mendidik saya menjadi insomnia..
memaksa saya mencecap –sebentar– rasanya jadi ibu, jadi ayah..
menuntut saya menjadi tulang punggung yang kuat..
memaksa saya terampil menutup telinga dari komentar yang melemahkan.. 

ah, meski benci, badai ini pula yang memaksa saya menjadi guru yang matrealistis. Memilih murid berdasarkan besarnya bayaran. Terserah orang mau bilang apa. Bagaimanapun, bapak harus tetap terapi, saya harus tetap kuliah, adik saya tetap harus sekolah, kami harus tetap punya tempat tinggal dan kami harus tetap hidup. Dan kesemuanya itu butuh biaya yang tidak sedikit sementara penghasilan ibu jauh dari cukup untuk memenuhi itu semua.
Kawan, Badai ini pula yang akhirnya membantu saya melihat mana teman yang baik, dan mana teman yang baik sekali. ;)
Mana yang bisa dan mau jadi penopang, dan mana yang justru hanya melemahkan.

Ya, akhirnya badai kami telah usai, kawan.
Badai kami sudah berlalu..
Ya, Karena dua tahun lalu kami memutuskan untuk bertahan, maka hari ini kami diberi kesempatan untuk melihat pelangi. :)


-Epilog-
Yang saya yakini, Tuhan tengah menyiapkan saya akan sebuah kondisi didepan sana hingga Ia sebegininya mendidik saya. Entah kondisi macam apa itu. 



*Jakarta, 5 Januari 2012

Lupa


Sejauh ini, yang saya pahami, manusia memang diberi (sedikit) kemampuan untuk mengendalikan apa - apa saja yang ingin diingatnya.. Namun sepertinya, manusia tidak pernah dibekali kemampuan sedikitpun untuk mengandalikan apa - apa saja yang ingin dilupakannya..

Sepakat??



Untuk mengingat suatu hal, manusia masih bisa mengusahakanya dengan berbagai cara.. 
Namun untuk melupakan sesuatu, adalah mutlak hasil kerja waktu dan kerelaanNya..

Selalu Ada Harga Yang Harus Dibayar Untuk Sebuah Keinginan



Pukul 20.38, sebuah pesan masuk ke salah satu akun media sosial yang saya punya..

“kak ikaaaaa.. Pengen Luluuuuuus...”

Hihihi.. ternyata dari seorang adik shalihah yang saat ini sedang bergulat dengan skripsi di semester ke sepuluhnya.. mungkin karena besok itu ada wisuda untuk mahasiswa yang lulus di semester ganjil, jadi yaaa dia segitu envy-nya.. :D siapa juga yang ga envy ngeliat (sebagian)  teman – teman seperjuangannya besok pake kostum gagak hitam.. hehe

Yang saya tau, adik saya yang satu ini memang aktivitasnya segudang. Apa yang dia jalani berbeda dari apa yang dijalani mahasiswa kebanyakan.  Jadi baginya, jungkir-baliknya penyelesaian sebuah makhluk bernama skripsi itu pun juga terasa berbeda..

***

Selalu ada harga yang harus dibayar untuk sebuah keinginan.. apapun itu..
iya, kan?
Tapi pernahkah kita berpikir bahwa harga yang harus kita bayar “selalu akan senilai” dengan apa yang kita inginkan?

Analoginya begini. ketika ada dua pemuda yang ingin menyandang gelar sarjana dari sebuah jurusan pada institusi yang sama. Pemuda pertama datang dari keluarga yang berkecukupan dan hidup serba mudah, sementara pemuda kedua datang dari keluarga dengan ekonomi sulit. Keinginan mereka sama bukan? Ya, yang mereka tuju memang sama, tapi saya yakin apa yang mereka jalani akan berbeda. Pemuda kedua (mungkin) harus bekerja paruh waktu,  pulang larut malam – merelakan waktu istirahatnya – untuk membiayai kuliahnya. sebuah hal yang (mungkin) tidak perlu dilakukan oleh pemuda pertama. Jadi, dari satu variabel tersebut, apa kita bisa menyatakan bahwa nilai “sarjana” bagi keduanya sama??

***

Selalu ada harga yang harus dibayar untuk sebuah keinginan.. apapun itu..
Yang saya pahami, ketika yang kita hadapi untuk mencapai apa yang kita mau tak semudah yang lainnya. Ketika apa yang kita jalani untuk mencapai keinginan kita terasa begitu melelahkan, begitu rumit, begitu tak biasa, dan begitu menguras segalanya. Pernahkah kita berpikir bahwa apa yang hendak kita tebus itu memang sesuatu yang begitu mahal dan bernilai?? Atau bisa jadi kita tidak sadar bahwa apa yang kita tuju itu memang terlalu istimewa..

Jadi, jangan buru - buru menyerah.. tetaplah berjuang hingga habis helaan napasmu, hingga hilang detak nadimu, hingga kering tetes darahmu..



Sungguh, selalu ada harga yang harus dibayar untuk sebuah keinginan.. apapun itu..



*Timur Jakarta, 18 Maret 2013, 21:54


~Semoga Bermanfaat dan Menginspirasi :)

..Langit..

Bukan, sungguh ini bukan tentang birunya..
Bukan pula tentang awannya yang berarak-arak..

Ini bukan tentang pagi, senja, atau malamnya..
bukan tentang gerimis atau badainya yang menderu-deru..
tidak pula tentang anggun purnamanya..



lantas?


Entah bagimu, bagiku langit hanya perkara rasa..
undescribed..
sejak zaman firaun dulu, segala yang berkaitan dengan rasa memang selalu tidak pernah bisa didefinisikan secara secara sempurna kan?



ya, begitulah.. :)





*Jakarta, March 24, 2013, 06.57am