Beberapa waktu
belakangan ini saya dihadapkan pada sebuah keadaan yang membuat saya bingung
bagaimana harus bersikap. Rasanya serba salah hingga pada akhirnya Allah
menggerakkan hati saya untuk menelaah kembali detail peristiwa ifki yang
terjadi ribuan tahun silam. I just want to share. Semoga teman – teman juga
bisa mengambil pelajaran dari kisah ini lebih baik dari yang saya serap. Let’s
check this out, guys :)
***
‘Aisyah
menuturkan, “Jika Rasulullah hendak melakukan perjalanan, maka beliau akan
mengundi siapa diantara istri – istri beliau yang akan mendampinginya. Waktu
itu, ketika hendak melakukan serangan terhadap musuhnya dalam perang bani
Musthaliq, Rasulullah mengundi, dan keluarlah namaku, sehingga aku menyertai
perjalanan beliau dalam perang itu yang terjadi setelah turunnya ayat hijab,
sehingga aku dibawa di dalam haudaj
(tenda kecil untuk kaum wanita yang diletakkan di atas punngung unta) dan aku
beristirahat di dalamnya.”
Dalam
perjalanan pulang dari misi tersebut, ketika sudah dekat dengan Madinah, tiba –
tiba Rasulullah memberi perintah untuk meneruskan perjalanan di malam hari.
Sesaat sebelum perintah Rasulullah diumumkan, ‘Aisyah meninggalkan kemah
tentara untuk suatu keperluan. Ketika itu, ‘Aisyah kehilangan kalungnya saat
sedang tergesa berjalan kembali ke perkemahan. ‘Aisyah pun kembali lagi untuk
mencari kalungnya, dan hal itu membuatnya terlambat kembali ke perkemahan.
Beberapa orang
yang bertugas untuk mengangkat haudaj
‘Aisyah tidak menyadari bahwa ‘Aisyah tidak berada di dalamnya. Mereka kemudian
menggiring unta yang mengangkut haudaj
‘Aisyah dan membawanya pergi. ‘Aisyah pun tertinggal oleh rombongan.
‘Aisyah
menunggu di bekas perkemahan rombongan. Berharap para petugas menyadari bahwa
ia tidak ada dan mereka kembali untuk mencarinya. Namun ternyata mereka tak
kunjung datang, hingga ‘Aisyah tertidur kelelahan.
Pagi menjelang.
Shafwan bin Mu’aththal As –Sullami, salah satu bagian dari pasukan Rasulullah
yang berjalan di belakang rombongan induk mendapati ‘Aisyah tengah tertidur di
bekas perkemahan pasukan Rasulullah. Shafwan mengucapkan istirja’ (Innaa
Lillahi wa Innaa Ilaihi Raa’ji’uun) saat mengenali ‘Aisyah. Karena mendengar
suara Shafwan, ‘Aisyah pun terbangun. ‘Aisyah berkata, “Demi Allah, dia sama
sekali tidak mengajakku bicara dan aku tidak mendengarnya mengucap satu kalimat
pun kecuali kalimat istirja’ tadi.”
Shafwan
kemudian menundukkan untanya dan menekan dua kaki depannya agar ‘Aisyah dapat
naik ke punggung unta tersebut dengan mudah. setelah siap, shafwan menuntun
unta tersebut hingga dapat menyusul rombongan pada siang hari itu juga. Saat
itulah tuduhan itu mulai disebarkan. Abdullah bin Ubay bin Salul adalah orang
yang paling bertanggung jawab menyebarkan tuduhan bohong (ifki) tersebut.
***
Setibanya di
Madinah, ‘Aisyah jatuh sakit. Desas desus terus berhembus, sementara ‘Aisyah
tidak mengetahuinya. Hanya saja ‘Aisyah menyadari perubahan sikap Rasulullah
terhadap dirinya. ‘Aisyah kehilangan kelembutan yang biasanya ditunjukkan oleh
beliau kepada ‘Aisyah ketika ‘Aisyah sakit. Selama ‘Aisyah sakit kali ini,
Rasulullah menjenguknya hanya untuk
bertanya “bagaimana keadaanmu?” , kemudian beliau pun berlalu pergi.
Setelah keadaan
‘Aisyah agak membaik, ia pergi keluar rumah untuk suatu keperluan bersama Ummu
Misthah. Pada saat itulah ummu misthah memberi tahu ‘Aisyah akan pemberitaan
yang tengah menggemparkan masyarakat Madinah beberapa waktu terakhir. Saking
terkejutnya mendengar berita tersebut, ‘Aisyah pun kembali jatuh sakit. Bahkan
jauh lebih parah dari sebelumnya.
Lihatlah,
bahkan wanita semulia ‘Aisyah pun mengalaminya. Wanita kecintaan Rasulullah ini
diragukan kata – katanya. Bahkan Rasulullah, lelaki terbaik sepanjang zaman pun
terbawa hatinya dalam berita ini, Duhai Zat Penggenggam hati.
Setelah ‘Aisyah sampai di rumah, Rasulullah
menjenguknya. Beliau mengucap salam dan bertanya “Bagaimana keadaanmu?”,
‘Aisyah berkata, “Apakah engkau mengizinkan aku untuk menemui kedua orang
tuaku?”. Saat itu ‘Aisyah bermaksud mencari kebenaran berita tersebut dari
kedua orang tuanya. Ternyata, Rasulullah pun memberi izin.
***
‘Aisyah pun
pergi menemui kedua orang tuanya. Kesedihannya tidak terperi saat mengetahui
berita tersebut dengan lebih detail. ‘Aisyah adalah bunga mawar yang terjaga
dan bersih, serta tumbuh di lingkungan yang dicucuri air wahyu. Jadi
bagaimanalah ia tidak bersedih saat seluruh penduduk madinah meragukan
kehormatannya. Wahai zat yang Maha Tahu, inikah caramu untuk menaikkan derajat
sang wanita shiddiq.
‘Aisyah mengenang kejadian itu, “Sepanjang
hari itu aku terus menangis dan tidak dapat tidur.” ‘Aisyah melanjutkan,
“besoknya , kedua orang tuaku menjengukku. Sudah satu hari dua malam aku tidak
berhenti menangis dan tidak bisa tidur, sehingga mereka mereka mengira hatiku
betul – betul remuk redam karena menangisi persoalan ini. Ketika mereka berdua
duduk dan menemaniku, tiba – tiba seorang wanita Anshar datang dan minta izin
untuk masuk. Aku mengizinkannya, lalu ia pun ikut menangis bersamaku.”
‘Aisyah
bercerita lagi, “Dalam keadaan seperti itu, tiba – tiba Rasulullah muncul.
Beliau mengucap salam lalu duduk. Sejak isu tersebut tersebar, Rasulullah tidak
pernah lagi duduk di sampingku. Sudah lebih sebulan beliau tidak menerima wahyu
tentang persoalanku. Sebelum duduk, Rasulullah membaca syahadat dan mengucapkan
salam lalu berkata, ‘Amma ba’du, wahai ‘Aisyah, sesungguhnya aku menerima
berita yang mengatakan bahwa engkau melakukan begini dan begitu. Seandainya
engkau benar – benar bersih dari tuduhan itu, maka Allah pasti akan membersihkanmu,
tapi jika seandainya engkau telah melakukan perbuatan dosa, maka mohonlah ampun
kepada Allah dan bertobatlah kepadaNya. Sesungguhnya jika seorang hamba
mengakui dosa yang dilakukannya lalu bertobat kepada Allah, maka pasti Allah
akan menerima tobatnya.”
Ya Rabbi..
bahkan Rasulullah pun tidak tahu harus mempercayai siapa. Mempercayai istrinya,
‘Aisyah atau mempercayai perkataan para
penduduk madinah. Entah bagaimana cara menggambarkan remuk redamnya hati sang
ummul mukminin kala itu. Mustahil rasanya bila mengatakan Rasulullah tidak
‘mengenal’ siapa dan bagaimana ‘Aisyah.
Keadaan ini
terus berlanjut hingga Allah memberi anugrah kepada ‘Aisyah dan segenap kaum
muslimin dengan memupus penderitaan dan menghilangkan kesedihan, serta
menurunkan wahyu Al Qur’an kepada Rasul-Nya yang mulia yang tidak pernah diduga
sebelumnya oleh siapapun, karena tadinya hanya diperkirakan Rasulullah akan
mendapatkan mimpi untuk menunjukkan kesucian umul mukminin ‘Aisyah ra. Akan
tetapi, tampaknya Allah hendak memberi keistimewaan yang mengangkat derajat
‘Aisyah untuk menunjukkan kemuliaan pribadi dan status sosialnya.
***
Duhai Rabbi,
Sang Kekasih jelas sudah tidak mempercayainya. Bagaimanalah dengan orang
tuanya? Pun mereka. Ternyata mereka juga meragukan putrinya. Tapi bukankah
orang tua seharusnya tahu persis siapa dan bagaimana anaknya? Ya. Begitulah
kejamnya fitnah.
‘Aisyah
berkata, “Setelah Rasulullah berkata demikian, airmataku benar – benar habis
sehingga aku tidak merasakan ada setitik pun yang tersisa. Aku berkata kepada
ayahku, ‘wahai ayah, jawablah perkataan Rasulullah’. Ayahku berkata, ‘Demi
Allah aku tidak tahu apa yang harus aku katakan kepada Rasulullah.’ .” ‘Aisyah
kemudian melirik ibunya, berharap sang ibu akan membelanya. Namun ternyata
beliau pun tak sanggup membela putrinya. Duhai Rabbi, alangkah hebat Kau uji
ketegaran wanita mulia ini.
Karena tak satu
pun yang mampu membelanya, ‘Aisyah pun berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku
telah mendengar isu tersebut, dan tampaknya kalian telah terpengaruh begitu
jauh dengannya sehingga kalian mempercayainya. Seandainya aku katakan bahwa aku
bersih dari tuduhan itu – dan Allah Mahatahu bahwa aku bersih darinya – maka
kalian tidak akan percaya. Sebaliknya, seandainya aku mengaku telah melakukan
sesuatu – dan Allah Mahatahu bahwa aku bersih darinya – maka kalian akan
percaya. Demi Allah, aku hanya bisa meniru apa yang diucapkan ayah yusuf,
yakni,
“Maka
hanya kesabaran yang baik itulah (kesabaranku) dan Allah sajalah yang dimohon
pertolonganNya terhadap apa yang kalian ceritakan.”
(Yusuf: 18)
Saat seorang manusia tak lagi memiliki daya untuk menyelesaikan
persoalannya, maka nantikanlah hasil kerja tangan Allah.
“... karena pertolongan Allah itu amat
dekat.” (QS. Al Baqarah: 214)
Saat itu
‘Aisyah meyakini betul bahwa ia bersih dari tuduhan tersebut dan meyakini pula bahwa
Allah akan menunjukkannya. Namun, sungguh ia tidak mengira bahwa Allah akan
menurunkan wahyu untuk menyelesaikan persoalannya ini.
‘Aisyah
bercerita, “Demi Allah, saat itu Rasulullah belum bergeser dari tempat
duduknya, dan tak ada seorang pun yang beranjak keluar rumah ketika tiba – tiba
beliau menerima wahyu. Beliau tampak seperti sedang menerima beban yang sangat
berat sehingga butir – butir keringatnya jatuh bercucuran, padahal saat itu
cuaca sangat dingin.
Dalam wahyu itu
Allah berfirman, “Sesungguhnya orang –
orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah
kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu, bahkan ia adalah baik bagi
kamu. Tiap – tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang
dikerjakannya....” (An Nur: 11) hingga lengkap 10 ayat.
Setelah proses
turunnya wahyu selesai, Rasulullah tenang kembali dan beliau tersenyum. Kata –
kata yang pertama kali terlontar dari mulut beliau adalah “Wahai ‘Aisyah,
sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah menyatakan bahwa engkau bersih.”
Mendengar hal tersebut, ibunda dari ‘Aisyah memintanya untuk mengucapkan terima
kasih kepada Rasulullah. ‘Aisyah tidak melakukannya. ‘Aisyah hanya berkata,
“Demi Allah aku tidak akan berterima kasih kepadanya. Aku hanya memuji kepada
Allah ‘Azza wa Jalla.”
***
Well guys,
bahkan wanita seunggul ‘Aisyah binti Abu Bakar pun bisa terdera fitnah keji
yang semacam ini, apalagi kita (saya) yang imannya masih rombeng disana sini.
Dan ternyata, Rasulullah, lelaki yang hatinya jernih pun bisa termakan isu.
Saat seorang manusia tak lagi memiliki daya untuk menyelesaikan
persoalannya, maka nantikanlah hasil kerja tangan Allah.
“... karena pertolongan Allah itu amat
dekat.” (QS. Al Baqarah: 214)
*Bekasi, 15 April 2013, 14.00 WIB