Saturday, April 27, 2013

Sebuah Jawaban

Saat dalam kepalamu terlintas sebuah pertanyaan dan tak kunjung kau temukan jawabannya meski sudah sekuat tenaga mencari, maka tunggulah sejenak, dan jawaban itu akan segera dikirimkanNya entah dengan cara bagaimana.. percaya? saya sangat percaya..


Siang ini, Allah kirimkan jawaban untuk sebuah pertanyaan yang 2 pekan ini tertahan di kepala saya. Tanpa direkayasa, seorang shalihah membacakan kalimat ini tepat di sebelah telinga saya... 
Ujian paling berat bagi pecinta sejati adalah pada keyakinannya terhadap kesejatian cintanya sendiri, dan keyakinannya pada kekuatan cinta untuk terus menerus melahirkan kebajikan. (Anis Matta)

Dan saya rasa, kalimat itu adalah jawaban dariNya.

Ya. begitulah Dia. CaraNya "menjawab" seringkali tak terduga. Bisa melalui apapun. Dari yang sepele hingga yang luar biasa. :)

Sunday, April 21, 2013

kau..


Senja turun perlahan..
Di pelupuk mataku, masih jelas terkenang kepul asap dari cangkir kopimu..
Menari ia berpadu dengan jingga..
nyaring pula terdengar dendang lagu cinta..

Ah, sempurnanya mereka menyesakiku..


Kau..!!
Taukah kau aku rindu?





*jakarta, 31 Agustus 2012, 4.00am

Tentang keyakinan


‘keyakinan’ itu sebenarnya apa?
darimana ia datang?
Ah bukan.. aku tidak sedang bicara tentang Dia..
Ini tentang ‘keyakinan’ yang lain..

Ya.. Sebenarnya, ‘keyakinan’ itu apa?
Darimana ia muncul?
Apa iya bisa sebegitu serta merta?
Lantas, kapan waktunya aku bisa meyakini adanya ‘keyakinan’ itu, sementara ia seringkali ku temui berubah-ubah?
Atau memang begitu sifatnya?

Jadi, ‘keyakinan’ yang semacam apa yang bisa kita yakini?






*jakarta, 21 April 2013, 19.14WIB

My Favorite Part of "Sunset Bersama Rosie"


Sebenarnya, apakah itu perasaan? Keinginan? Rasa memiliki? Rasa sakit, gelisah, sesak tidak bisa tidur, kerinduan, kebencian?
Bukankah dengan berlalunya waktu semuanya seperti gelas kosong yang berdebu, begitu-begitu saja, tidak istimewa.
Malah lucu serta gemas saat dikenang.
Sebenarnya, apakah pengorbanan memiliki harga dan batasan?
Atau priceless, tidak terbeli dengan uang, karena kita lakukan hanya untuk sesuatu yang amat spesial di waktu yang juga spesial?
Atau boleh jadi gratis, karena kita lakukan saja, dan selalu menyenangkan untuk dilakukan berkali-kali.
Sebenarnya, apakah itu ‘kesempatan’?
apakah itu makna ‘keputusan’?
bagaimana mungkin kita terkadang menyesal karena sebuah ‘keputusan’ atas sepucuk ‘kesempatan’?
sebenarnya, siapakah yang selalu pantas kita sayangi?


*TereLiye

My Favorite Part of "Galaksi Kinanthi"


      Setiap petang di bulan juni, para penghuni galaksi itu berkumpul menikmati ekor cahaya matahari. Sejak ledakan besar dahulu, galaksi cinta ditaburi sejuta matahari yang terangnya seribu kali lipat lebih cemerlang dibanding matahari milik bimasakti.
      Bulan juni yang istimewa. Setahun penuh mereka takzim dalam rotasi planet-planet dan tawaf berjamaah yang diikuti seluruh penduduk angkasa. Tawaf raksasa yang menghabiskan waktu begitu lama. Kemudian, mereka beristirahat pada bulan juni.
      Juni yang ditunggu-tunggu. Saat itu, para penghuni galaksi cinta akan duduk bergerombol diatas bukit yang ditumbuhi ilalang berbulu lembut. Angin Memainkan musik yang menabuh sepi dan kerinduan yang kronis. Mereka lalu saling bercerita tentang kisah yang sama. Diulang-ulang tapi tak pernah mendatangkan rasa bosan.
      Ada yang tersenyum sambil membisikkan dendang langka. Lagu yang sudah tak dikenali generasi masa kini. Punah di kunyah masa. Bibirnya tersenyum, tetapi matanya melelehkan air mata. Ia teringat tatapan mata belahan hatinya. 
      Jika engkau cinta, tatapan seperti itu tidak mungkin dusta. Tatapan yang tidak mampu kau tukar dengan gunung emas. Tatapan kasih yang tak berbatas. Seolah tak cukup engkau serahkan seluruh hidup. Tatapan yang telah tertinggal oleh waktu, mustahil diulang. Sebab, belahan jiwanya telanjur mengangkasa. Meninggalkan dia di galaksi cinta. Membiarkannya menunggu tanpa tenggat waktu. Rasanya, melanjutkan hidup sekadar menghitung mundur menuju hari kematian. Namun, dia rela. Engkau mengatainya bodoh. Namun, dia rela. 
      Ada yang menyendiri sambil menatap langit. Baginya, menarik napas pun seolah membuat nyawanya terampas. Rindu yang menyesakkan. Pada titik tertentu seperti mengosongkan paru-paru. 
      Rasa yang sudah begitu renta, tapi tak pernah menjadi kata-kata. Dia kini terlalu tua untuk merangkai kalimat mesra. Bagimu tak ada terlambat untuk mencintai, baginya, tidak pernah ada waktu untuk mengatakan "setelah Tuhan, kaulah yang mampu mematikan matahari". 
      Dahulu, ketika jiwanya belum terbelah, ketika kebersamaan masih begitu mudah, dia menyemai bibit dalam hati. Begitu asyiknya hingga saat setengah jiwanya pergi, sudah terlambat untuk mematikan tanaman hati ini. 
      Hingga kini, menunggu baginya tak berarti harus bertemu. Ia melarikkan bait puisi tanpa berharap setengah jiwanya kembali. Kepada temaram petang, dia melengkungkan perasaannya yang berumur selamanya. Terkadang, hasratnya menggejolak, menghasutnya untuk melakukan perjalanan. Meniti jejak di permukaan pelangi. Barangkali, setengah jiwanya berada disana.
      Jika waktu adalah kupu-kupu, sudah lelah hatinya melanglang setiap sudut bumi. Samapai waktunya untuk berhenti. Tetap menunggu, namun tak berharap bertemu. Dia menyadari, tak semua cinta layak diperjuangkan. Maka, yang tertinggal adalah jejak kasih yang memburam. Ia bersihkan setiap debu yang membuat jejak itu tak gemintang. Mencoba bergembira dengan apa yang pernah terjadi. Menyimpannya bagai sekotak perhiasan. Engkau mengatainya sia-sia. Namun, dia tetap cinta



*TereLiye

Belajar Dari Peristiwa Ifki


Beberapa waktu belakangan ini saya dihadapkan pada sebuah keadaan yang membuat saya bingung bagaimana harus bersikap. Rasanya serba salah hingga pada akhirnya Allah menggerakkan hati saya untuk menelaah kembali detail peristiwa ifki yang terjadi ribuan tahun silam. I just want to share. Semoga teman – teman juga bisa mengambil pelajaran dari kisah ini lebih baik dari yang saya serap. Let’s check this out, guys :)
***

‘Aisyah menuturkan, “Jika Rasulullah hendak melakukan perjalanan, maka beliau akan mengundi siapa diantara istri – istri beliau yang akan mendampinginya. Waktu itu, ketika hendak melakukan serangan terhadap musuhnya dalam perang bani Musthaliq, Rasulullah mengundi, dan keluarlah namaku, sehingga aku menyertai perjalanan beliau dalam perang itu yang terjadi setelah turunnya ayat hijab, sehingga aku dibawa di dalam haudaj (tenda kecil untuk kaum wanita yang diletakkan di atas punngung unta) dan aku beristirahat di dalamnya.”
Dalam perjalanan pulang dari misi tersebut, ketika sudah dekat dengan Madinah, tiba – tiba Rasulullah memberi perintah untuk meneruskan perjalanan di malam hari. Sesaat sebelum perintah Rasulullah diumumkan, ‘Aisyah meninggalkan kemah tentara untuk suatu keperluan. Ketika itu, ‘Aisyah kehilangan kalungnya saat sedang tergesa berjalan kembali ke perkemahan. ‘Aisyah pun kembali lagi untuk mencari kalungnya, dan hal itu membuatnya terlambat kembali ke perkemahan.
Beberapa orang yang bertugas untuk mengangkat haudaj ‘Aisyah tidak menyadari bahwa ‘Aisyah tidak berada di dalamnya. Mereka kemudian menggiring unta yang mengangkut haudaj ‘Aisyah dan membawanya pergi. ‘Aisyah pun tertinggal oleh rombongan.
‘Aisyah menunggu di bekas perkemahan rombongan. Berharap para petugas menyadari bahwa ia tidak ada dan mereka kembali untuk mencarinya. Namun ternyata mereka tak kunjung datang, hingga ‘Aisyah tertidur kelelahan.
Pagi menjelang. Shafwan bin Mu’aththal As –Sullami, salah satu bagian dari pasukan Rasulullah yang berjalan di belakang rombongan induk mendapati ‘Aisyah tengah tertidur di bekas perkemahan pasukan Rasulullah. Shafwan mengucapkan istirja’ (Innaa Lillahi wa Innaa Ilaihi Raa’ji’uun) saat mengenali ‘Aisyah. Karena mendengar suara Shafwan, ‘Aisyah pun terbangun. ‘Aisyah berkata, “Demi Allah, dia sama sekali tidak mengajakku bicara dan aku tidak mendengarnya mengucap satu kalimat pun kecuali kalimat istirja’ tadi.”
Shafwan kemudian menundukkan untanya dan menekan dua kaki depannya agar ‘Aisyah dapat naik ke punggung unta tersebut dengan mudah. setelah siap, shafwan menuntun unta tersebut hingga dapat menyusul rombongan pada siang hari itu juga. Saat itulah tuduhan itu mulai disebarkan. Abdullah bin Ubay bin Salul adalah orang yang paling bertanggung jawab menyebarkan tuduhan bohong (ifki) tersebut.
***
Setibanya di Madinah, ‘Aisyah jatuh sakit. Desas desus terus berhembus, sementara ‘Aisyah tidak mengetahuinya. Hanya saja ‘Aisyah menyadari perubahan sikap Rasulullah terhadap dirinya. ‘Aisyah kehilangan kelembutan yang biasanya ditunjukkan oleh beliau kepada ‘Aisyah ketika ‘Aisyah sakit. Selama ‘Aisyah sakit kali ini, Rasulullah menjenguknya hanya untuk  bertanya “bagaimana keadaanmu?” , kemudian beliau pun berlalu pergi.
Setelah keadaan ‘Aisyah agak membaik, ia pergi keluar rumah untuk suatu keperluan bersama Ummu Misthah. Pada saat itulah ummu misthah memberi tahu ‘Aisyah akan pemberitaan yang tengah menggemparkan masyarakat Madinah beberapa waktu terakhir. Saking terkejutnya mendengar berita tersebut, ‘Aisyah pun kembali jatuh sakit. Bahkan jauh lebih parah dari sebelumnya.
Lihatlah, bahkan wanita semulia ‘Aisyah pun mengalaminya. Wanita kecintaan Rasulullah ini diragukan kata – katanya. Bahkan Rasulullah, lelaki terbaik sepanjang zaman pun terbawa hatinya dalam berita ini, Duhai Zat Penggenggam hati.
 Setelah ‘Aisyah sampai di rumah, Rasulullah menjenguknya. Beliau mengucap salam dan bertanya “Bagaimana keadaanmu?”, ‘Aisyah berkata, “Apakah engkau mengizinkan aku untuk menemui kedua orang tuaku?”. Saat itu ‘Aisyah bermaksud mencari kebenaran berita tersebut dari kedua orang tuanya. Ternyata, Rasulullah pun memberi izin.
***
‘Aisyah pun pergi menemui kedua orang tuanya. Kesedihannya tidak terperi saat mengetahui berita tersebut dengan lebih detail. ‘Aisyah adalah bunga mawar yang terjaga dan bersih, serta tumbuh di lingkungan yang dicucuri air wahyu. Jadi bagaimanalah ia tidak bersedih saat seluruh penduduk madinah meragukan kehormatannya. Wahai zat yang Maha Tahu, inikah caramu untuk menaikkan derajat sang wanita shiddiq.
 ‘Aisyah mengenang kejadian itu, “Sepanjang hari itu aku terus menangis dan tidak dapat tidur.” ‘Aisyah melanjutkan, “besoknya , kedua orang tuaku menjengukku. Sudah satu hari dua malam aku tidak berhenti menangis dan tidak bisa tidur, sehingga mereka mereka mengira hatiku betul – betul remuk redam karena menangisi persoalan ini. Ketika mereka berdua duduk dan menemaniku, tiba – tiba seorang wanita Anshar datang dan minta izin untuk masuk. Aku mengizinkannya, lalu ia pun ikut menangis bersamaku.”
‘Aisyah bercerita lagi, “Dalam keadaan seperti itu, tiba – tiba Rasulullah muncul. Beliau mengucap salam lalu duduk. Sejak isu tersebut tersebar, Rasulullah tidak pernah lagi duduk di sampingku. Sudah lebih sebulan beliau tidak menerima wahyu tentang persoalanku. Sebelum duduk, Rasulullah membaca syahadat dan mengucapkan salam lalu berkata, ‘Amma ba’du, wahai ‘Aisyah, sesungguhnya aku menerima berita yang mengatakan bahwa engkau melakukan begini dan begitu. Seandainya engkau benar – benar bersih dari tuduhan itu, maka Allah pasti akan membersihkanmu, tapi jika seandainya engkau telah melakukan perbuatan dosa, maka mohonlah ampun kepada Allah dan bertobatlah kepadaNya. Sesungguhnya jika seorang hamba mengakui dosa yang dilakukannya lalu bertobat kepada Allah, maka pasti Allah akan menerima tobatnya.”
Ya Rabbi.. bahkan Rasulullah pun tidak tahu harus mempercayai siapa. Mempercayai istrinya, ‘Aisyah atau  mempercayai perkataan para penduduk madinah. Entah bagaimana cara menggambarkan remuk redamnya hati sang ummul mukminin kala itu. Mustahil rasanya bila mengatakan Rasulullah tidak ‘mengenal’ siapa dan bagaimana ‘Aisyah.
Keadaan ini terus berlanjut hingga Allah memberi anugrah kepada ‘Aisyah dan segenap kaum muslimin dengan memupus penderitaan dan menghilangkan kesedihan, serta menurunkan wahyu Al Qur’an kepada Rasul-Nya yang mulia yang tidak pernah diduga sebelumnya oleh siapapun, karena tadinya hanya diperkirakan Rasulullah akan mendapatkan mimpi untuk menunjukkan kesucian umul mukminin ‘Aisyah ra. Akan tetapi, tampaknya Allah hendak memberi keistimewaan yang mengangkat derajat ‘Aisyah untuk menunjukkan kemuliaan pribadi dan status sosialnya.
***
Duhai Rabbi, Sang Kekasih jelas sudah tidak mempercayainya. Bagaimanalah dengan orang tuanya? Pun mereka. Ternyata mereka juga meragukan putrinya. Tapi bukankah orang tua seharusnya tahu persis siapa dan bagaimana anaknya? Ya. Begitulah kejamnya fitnah.
‘Aisyah berkata, “Setelah Rasulullah berkata demikian, airmataku benar – benar habis sehingga aku tidak merasakan ada setitik pun yang tersisa. Aku berkata kepada ayahku, ‘wahai ayah, jawablah perkataan Rasulullah’. Ayahku berkata, ‘Demi Allah aku tidak tahu apa yang harus aku katakan kepada Rasulullah.’ .” ‘Aisyah kemudian melirik ibunya, berharap sang ibu akan membelanya. Namun ternyata beliau pun tak sanggup membela putrinya. Duhai Rabbi, alangkah hebat Kau uji ketegaran wanita mulia ini.
Karena tak satu pun yang mampu membelanya, ‘Aisyah pun berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku telah mendengar isu tersebut, dan tampaknya kalian telah terpengaruh begitu jauh dengannya sehingga kalian mempercayainya. Seandainya aku katakan bahwa aku bersih dari tuduhan itu – dan Allah Mahatahu bahwa aku bersih darinya – maka kalian tidak akan percaya. Sebaliknya, seandainya aku mengaku telah melakukan sesuatu – dan Allah Mahatahu bahwa aku bersih darinya – maka kalian akan percaya. Demi Allah, aku hanya bisa meniru apa yang diucapkan ayah yusuf, yakni,

“Maka hanya kesabaran yang baik itulah (kesabaranku) dan Allah sajalah yang dimohon pertolonganNya terhadap apa yang kalian ceritakan.” 
(Yusuf: 18)


Saat seorang manusia tak lagi memiliki daya untuk menyelesaikan persoalannya, maka nantikanlah hasil kerja tangan Allah.

“... karena pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS. Al Baqarah: 214)


Saat itu ‘Aisyah meyakini betul bahwa ia bersih dari tuduhan tersebut dan meyakini pula bahwa Allah akan menunjukkannya. Namun, sungguh ia tidak mengira bahwa Allah akan menurunkan wahyu untuk menyelesaikan persoalannya ini.
‘Aisyah bercerita, “Demi Allah, saat itu Rasulullah belum bergeser dari tempat duduknya, dan tak ada seorang pun yang beranjak keluar rumah ketika tiba – tiba beliau menerima wahyu. Beliau tampak seperti sedang menerima beban yang sangat berat sehingga butir – butir keringatnya jatuh bercucuran, padahal saat itu cuaca sangat dingin.
Dalam wahyu itu Allah berfirman, “Sesungguhnya orang – orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu, bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap – tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya....” (An Nur: 11) hingga lengkap 10 ayat.

Setelah proses turunnya wahyu selesai, Rasulullah tenang kembali dan beliau tersenyum. Kata – kata yang pertama kali terlontar dari mulut beliau adalah “Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah menyatakan bahwa engkau bersih.” Mendengar hal tersebut, ibunda dari ‘Aisyah memintanya untuk mengucapkan terima kasih kepada Rasulullah. ‘Aisyah tidak melakukannya. ‘Aisyah hanya berkata, “Demi Allah aku tidak akan berterima kasih kepadanya. Aku hanya memuji kepada Allah ‘Azza wa Jalla.”
***

Well guys, bahkan wanita seunggul ‘Aisyah binti Abu Bakar pun bisa terdera fitnah keji yang semacam ini, apalagi kita (saya) yang imannya masih rombeng disana sini. Dan ternyata, Rasulullah, lelaki yang hatinya jernih pun bisa termakan isu.

Saat seorang manusia tak lagi memiliki daya untuk menyelesaikan persoalannya, maka nantikanlah hasil kerja tangan Allah.

“... karena pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS. Al Baqarah: 214)





*Bekasi, 15 April 2013, 14.00 WIB

Friday, April 12, 2013

Menyerahlah


Orang-orang terdekat saya mungkin tahu persis tentang bagaimana saya mencintai matematika. Sebuah subject yang dibenci orang kebanyakan, saya malah mencintainya mati-matian. Semasa menempuh pendidikan di jenjang sekolah atas, adalah mimpi yang indah bisa menjadi sarjana jurusan matematika. Saya melakukan hal terbaik yang bisa saya lakukan untuk mewujudkannya. Saya belajar giat untuk menjaga nilai-nilai harian saya agar tetap baik. Kenapa? Supaya nanti mudah ketika saya ikut seleksi masuk perguruan tinggi jalur penelusuran minat. Saya pun berjuang lebih dari sekedar keras untuk mendapatkan nilai maksimum pada ujian akhir saya. Ini jujur, ketika itu saya baru berhenti mengerjakan latihan soal saat kepala saya sudah terasa sakit. Jika belum, saya akan terus mengerjakan soal-soal yang ada. Agak berlebihan memang, tapi begitulah jika saya sudah punya mau. I’ll do my best. Really my best.
Seleksi pertama yang saya ikuti adalah seleksi penelusuran minat. Dengan optimis saya menyerahkan salinan rapot untuk diproses oleh guru BK. Menurut logika, mestinya saya lolos seleksi karena rata-rata nilai saya berada di atas rata-rata nilai yang dijadikan syarat oleh jurusan impian saya itu. Tapi kenyataannya? Saya tidak lolos seleksi. Kecewa? Iya. Tapi saya pikir, saya masih punya 2 kesempatan lagi.
Seleksi kedua, seleksi uji tulis yang serentak dilakukan di seluruh Indonesia. Saya berusaha keras belajar. Lebih dari 2 pekan saya sakit sehingga saya harus ‘berhenti’ belajar. Saya harus mengejar ketertinggalan. Entah apa usaha saya bisa disebut sia-sia. Saya terpaksa kembali menelan kekecewaan. Saya gagal. Saya tidak diterima dijurusan manapun. Pahit? iya. Tapi harus ditelan.
Kesempatan terakhir. Saya bangkit lagi dari keterpurukan. Berjuang lagi supaya kali ini berhasil. Kali ini saya berusaha belajar lebih keras. Untuk seleksi yang terakhir ini, saya dituntut untuk memilih 2 jurusan dalam satu fakultas. Pilihan pertama, jelas matematika. Yang kedua? Nah ini..!! bingung..!! >.<
Setelah sedikit mempertimbangkan, akhirnya saya menuliskan jurusan kimia di opsi kedua. Kenapa? Simple jawabannya; main di lab kayaknya seru. Hihihi ngga berbobot banget ya alasannya. Anyway, pilihan jurusan sudah ditentukan, tapi jujur, saya hampir tidak memikirkan opsi kedua saya itu. Pikiran dan usaha saya fokus pada pilihan pertama. Jurusan matematika. :D
Hari pengumuman tiba, dan jeng jeeeeeeeeng... nama saya justru muncul di daftar mahasiswa yang diterima di jurusan kimia, bukan matematika. Jungkir balik saya belajar matematika, tapi malah masuk jurusan kimia itu rasanya ngga masuk akal.
 Ternyata, begitulah takdir. Rupanya Allah hendak memahamkan saya akan perkataanNya di surat Al An’am ayat 134:
“Sesungguhnya apapun yang dijanjikan kepadamu pasti datang dan kamu tidak akan mampu menolaknya.”
Sekuat apapun kita berusaha mendekat pada sesuatu yang kita ingini, jika memang tidak dijanjikan untuk kita, maka tidak akan pernah sampai. Sebaliknya, jika ‘disana’ telah tertulis hal tersebut untuk kita, sejauh apapun kita berusaha menghindar maka kita akan tetap dikembalikan untuk mendekat pada hal tersebut. Kita akan terus menerus diberi jalan untuk kembali.
***

Bertanggungjawablah atas segala keputusan yang telah kau ambil..!!
Semester pertama kuliah, semua masih aman terkendali. Semester kedua, ketidaksesuaian hati dan pikiran mulai berefek buruk. Indeks Prestasi yang nyata-nyata mampu dijadikan indikatornya. Mulut bisa dengan mudah bilang “saya enjoy kok di kimia”, tapi hati ngga bisa bohong “saya maunya kuliah matematika”.

“... tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan oleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al Baqarah: 216)

Base on that words, akhirnya saya putuskan berdamai dengan kenyataan. Berdamai dengan takdir. Mudah? Tidak. Saya berusaha sekuat tenaga mencintai keduanya dengan baik. Sampai akhirnya di semester ke tujuh, saya paham maksudNya.
Dipertengahkan semester ke tujuh, Allah memberi saya hadiah sebuah kondisi dimana saya mau tidak mau, suka tidak suka, kuat tidak kuat, harus menambah jam mengajar saya. Permintaan yang banyak muncul adalah “butuh guru matematika dan IPA”. Selama 3 tahun penuh Allah ‘memaksa’ saya mencintai keduanya (matematika dan kimia), dan beginilah maksudNya. Dengan kondisi butuh pekerjaan, kecintaan saya akan dua bidang tersebut tentu mempermudah. Mungkin, jika dulu Allah mengizinkan saya untuk kuliah di jurusan matematika, tentu tidak semudah ini saya memenuhi tuntutan hidup saya.

“...Allah Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Sesederhana itu. Tapi di dalamnya terkandung kemenyerahan yang teramat sangat. Di dalamnya kita mengakui bahwa kita tidak tahu apa-apa akan hari esok.
Lantas, apa kita tidak boleh berjuang? Bukan. Bukan itu yang saya maksud. Menyerah itu letaknya di akhir. Di awal, Berjuanglah sekuat tenagamu. Jika tiba waktu tak ada lagi daya yang bisa kau kerahkan, maka menyerahlah. Menyerah itu tak selalu buruk. Menyerahlah akan ketentuanNya. karena bisa jadi saat itu Ia tengah mempersiapkanmu untuk sebuah keadaan di masa depan yang kau tak tau akan bagaimana.

“... Allah Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Ya sesederhana itu. Tak perlulah kita jadi sok tahu.. karena Allah yang lebih tahu.. :)



*Timur Jakarta, 31.03.13, 19.00WIB